900 KM RUTE RAJA MAJAPAHIT;
MENAPAKI JEJAK-JEJAK KEBESARAN KERAJAAN MAJAPAHIT,
MENYEMAIKAN KESADARAN BERBANGSA
Oleh:
Agustiar
Saifudin, S.Pd
SMAN 1 Probolinggo
Karya Tulis Disusun dalam Rangka
Mengikuti Kegiatan
Lawatan Sejarah Regional tahun 2011,
dengan Tema:
“Lawatan Sejarah
Sebagai Wahana Integrasi Bangsa”
Tanggal 13-16 Juni 2011
Diselenggarakan
oleh
DEPARTEMEN
KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA
BALAI PELESTARIAN
SEJARAH DAN NILAI TRADISIONAL
YOGYAKARTA
2011
KATA PENGANTAR
Kami mengucapkan rasa syukur kehadirat
Tuhan yang Maha Esa atas limpahan rahmad, taufik dan hidayah-Nya, sehingga kami
mampu untuk menyelesaikan penyusunan karya tulis yang berjudul “900 Km Rute Raja Majapahit; Menapaki
Jejak-Jejak Kebesaran Kerajaan Majapahit, Menyemaikan Kesadaran Berbangsa”. Karya
Tulis ini disusun dalam rangka mengikuti
kegiatan Lawatan Sejarah Regional Tahun 2011 dengan mengunjungi obyek sejarah
dan budaya yang telah ditentukan oleh panitia, meliputi beberapa situs sejarah
yang ada di Yogyakarta, Jawa tengah dan Jawa Timur.
Kami mengucapkan terima kasih, utamanya
kepada penyelenggara kegiatan ini yaitu
Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, Departemen Kebudayaan
dan Pariwisata Yogyakarta, kemudian juga
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur yang telah memfasilitasi
kami dalam mengikuti kegiatan ini. Kegiatan seperti ini perlu untuk
diselenggarakan secara kontinyu dalam rangka menambah pengalaman belajar
sejarah bagi para siswa/generasi muda. Pada sisi lain, kami merasa bahwa dengan
kegiatan ini akan menambah pemahaman kami selaku guru sejarah sehingga dapat
kami terapkan dalam kerangka pengembangan pengajaran sejarah yang lebih
menarik. Terakhir kami mengucapkan terimakasih pada Kepala SMAN 1 Probolinggo
yang telah mempercayakan pada kami untuk mengikuti kegiatan ini.
Semoga ada nilai manfaat yang dapat
dipetik sebagai upaya bersama dari kita yang ingin berpartisipasi dalam
pengembangan nilai budaya dan sejarah, utamanya dalam kerangka menyemaikan kesadaran kehidupan berbangsa,
amin.
Penulis
900 Km Rute Raja Majapahit;
Menapaki Jejak-Jejak Kebesaran Kerajaan Majapahit, Menyemaikan
Kesadaran Berbangsa
Agustiar Saifudin, S.Pd
SMAN 1 Probolinggo
Abstrak: Majapahit,
salah satu kerajaan Hindu-Budha terbesar yang pernah ada di Indonesia. Kitab
Negarakretagama menceritakan tentang perjalanan dinas raja Majapahit Hayam
Wuruk sekitar tahun 1359M mengunjungi wilayah dan penduduknya sejauh sekitar
900Km. Beberapa tempat yang dikunjungi, masih bisa dikenali saat ini. Dalam
konteks kesejarahan dan Keindonesiaan, keberadaan Kerajaan Majapahit menjadi
icon untuk menggugah kembali ingatan masa lalu sebagai sebuah bangsa yang besar.
Semua aspek peninggalan Kerajaan Majapahit ini dapat dikaji dan ditelusuri
sebagai wahana memperkenalkan nilai-nilai kesejarahan dan intagrasi
bangsa.
Kata kunci: Majapahit, integrasi, bangsa
A. PENGANTAR
Dalam khasanah sejarah Indonesia tercatat bahwa
Majapahit adalah nama sebuah kerajaan pada masa Hindu-Budha yang terletak di sekitar Trowulan,
Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Kerajaan Majapahit didirikan oleh Raden Wijaya, sekitar
tahun 1293 M. Kerajaan ini mengalami era keemasan, pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350-1389 M) yang didampingi
oleh Maha Patih Gadjah Mada (1331-1364 M). Saat itu, wilayah kekuasaannya tidak hanya di Pulau Jawa, melainkan
mencapai hingga “seluruh Nusantara”.
Kebesaran
Kerajaan Majapahit khususnya di Jawa Timur, bisa dibuktikan dari adanya beberapa artefak dan
monumen. Beberapa
peninggalan sejarah tersebut mempunyai nilai kesejarahan cukup tinggi sebagai
wahana pengetahuan tentang masa lalu bangsa Indonesia dan sarana perekat
nilai-nilai kebangsaan, namun pada sisi lain seakan kita berpacu dengan waktu
terhadap ancaman kerusakan. Mulai dari adanya
penggalian tanah yang dijadikan bahan baku
batu bata, kurangnya perawatan,
hingga hilangnya artefak-artefak yang tersisa.
Sedikit beruntung,
masih ada kitab Negarakertagama yang
ditulis Mpu Prapanca pada tahun 1561
M, sehingga sedikit banyak dapat digunakan
merekontruksi kembali situasi silam Kerajaan Majapahit. Salah satu catatan
penting dari Prapanca, berupa perjalanan dinas Raja Hayam Wuruk sekitar September 1359 M mengunjungi daerah-daerah vassal disebelah timur
Pulau Jawa.
Nigel Bullough
(2005) berhasil menelusuri rute perjalanan Hayam Wuruk, dengan beberapa temuan antara lain, perjalanan
tersebut menempuh jarak cukup panjang hingga melewati sekitar 200 desa, melalui tidak kurang 11 kabupaten yang ada di Jawa Timur,
mulai dari Mojokerto, Pasuruan, Lumajang, Jember, Situbondo, Probolinggo, Malang, Jombang, Kediri
dan Blitar. Dengan
total perjalanan sepanjang 700 Kilometer yang ditempuh dalam waktu 3 bulan
dilakukan antara September hingga Desember tahun 1359. Sebelumnya
pada tahun 1351, dilakukan perjalanan ke arah Barat, beberapa desa
dicatat Prapanca dari Mojokerto hingga pantai Lodoyo, Blitar Selatan, sepanjang 200 Km. Jadi total
keseluruhan rute
Raja Hayam
Wuruk sepanjang 900 KM.
Melihat penggalan
fakta sejarah tersebut, rute Raja Majapahit sepanjang 900 Km di wilayah Jawa Timur mempunyai banyak
potensi terpendam yang pantas dikaji lebih mendalam, baik dalam perspektif pendidikan (education),
budaya (culture), ekonomi (economic) dan pariwisata, Dalam konteks kekinian, kiranya keberadaan
peninggalan sejarah dari kerajaan Majapahit dapat dijadikan pengalaman kolektif
bangsa dalam rangka meretas integrasi bangsa serta modal penanaman “national character building”.
MENJADIKAN 900 KM SEBAGAI RUTE SEJARAH
Sekitar 650 tahun yang lalu di masa keemasan
kerajaan Majapahit, Raja Hayam Wuruk melakukan perjalanan
dinas ke wilayah Jawa sebelah timur
mengunjungi kerajaan vassal. Menurut catatan Mpu Prapanca dalam naskah Nagarakretagama (1365 M), perjalanan ini
melibatkan rombongan lengkap, diikuti
keluarga raja, perwakilan kerajaan mancanegara dan disambut meriah di setiap
desa yang dikunjunginya (Mulyana, 2006). Identifikasi nama-nama
desa maupun tempat-tempat penting yang
dikunjungi Hayam Wuruk berhasil dilakukan oleh Nigel Bullough dalan bukunya “Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca”
(2005). Melihat rekonstruksi rute tersebut, dan kegiatan raja yang dicatat
Prapanca, menguatkan pendapat bahwa perjalanan resmi raja tidak hanya bersifat social politis, namun juga merupakan lawatan
wisata yang lengkap. Raja melihat keindahan gunung dan pantai, mengunjungi
candi, mandala, wihara, menerima tamu-tamu asing serta berkesenian dengan
rakyat, menari topeng, tayub. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa lawatan raja Hayam wuruk
merupakan peristiwa bersejarah. Kawasan sepanjang rute raja ini tampaknya sengaja dipilih sedemikan indahnya yang
membuat raja tidak merasa lelah dan terhibur sepanjang kunjungan kerjanya di
daerah-daerah tersebut.
Kajian mengenai
identifikasi toponim lama yang disebut dalam naskah Nagarakertagama sebenarnya telah dilakukan beberapa ahli,
seperti NJ.
Krom (1932), Pigeaud (1972), Slamet Mulyana (1972), Amritz Gompertz (2004), namun identifikasinya berdasarkan studi referensi, sejauh ini hanya Nigel
Bullough yang melakukan studi lapangan memverifikasi toponim kuno yang dilalui
Raja Hayam Wuruk. Studi lapangan ini juga didukung oleh epigrafis, naskah
kidung dan perjalanan Bujanggamanik yang melewati desa-desa di Jawa Timur pada akhir
Majapahit (Hanan, makalah, 2010).
Beberapa nama desa
atau tempat tertentu belum berhasil
identifikasi. Hal ini dikarenakan nama-nama kuna tersebut sudah hilang atau
berganti nama yang baru sama sekali, sehingga penduduk sekarang tidak mengenali
sama sekali. Hasil studi Nigel ini memang perlu dipertajam lagi dengan dukungan
data arkeologi. Data historis dan toponimi di lapangan tampaknya perlu
diverifikasi dengan situs-situs yang dulu pernah ada maupun situs yang masih
tersisa. Seperti diketahui, dari hasil wawancara dengan penduduk desa
menunjukan bahwa situs Majapahit di dalam maupun diluar keraton mengalami
penghancuran yang laur biasa, akibat ulah manusia. Banyak bangunan batu bata
yang tinggal
cerita. Sebagian besar, bata candi dibongkar untuk
di jual dengan harga yang tidak sebanding dengan hilangnya data Majapahit yang tak
tergantikan. Oleh karena itu pendokumentasian potensi warisan budaya Majapahit
sepanjang rute raja tersebut mendesak
untuk dilakukan, melalui studi pustaka maupun survai langsung kelapangan.
Masyarakat
sepanjang rute Majapahit memiliki sumber budaya berupa situs perkotaan (town-sites), bekas ibu kota kerajan
Majapahit yang terletak di Kabupaten Mojokerto. Kebesaran kerajaan Majapahit
tampak dalam kitab sastra, seperti Nagarakertagama dan Pararaton, sementara
bukti arkeologis sudah banyak yang hilang. Tidak hanya situs di dalam keraton
Majapahit, namun situs di luar keraton atau disebut “sepanjang rute
Majapahit” terus mengalami
kerusakan yang berlangsung hingga kini oleh ulah manusia yang justru bermukim
di kawasan bersejarah ini. Hal ini memperlihatkan kebijakan pemerintah terhadap
pelestarian kawasan selama ini belum berhasil.
Tampaknya upaya pelestarian tanpa melibatkan peran serta masyarakat
setempat kurang memenuhi harapan semua pihak
pemangku kepentingan (stakeholder). Masyarakat tidak merasa
memiliki, pemerintah kewalahan menghadapi pengerusakan situs, dan para
akademisi semakin kehilangan data, seolah berlomba dengan penggali local dalam
merekam keberadaan data peninggalan majapahit.
Karena itulah sangat mendesak dirumuskan model pelestarian rute sejarah
Majapahit.
MENGENAL
JEJAK SEJARAH MAJAPAHIT DALAM UPAYA MEMBANGUN KESADARAN INTEGRASI BANGSA
Kerajaan
Majapahit, sebagaimana selama ini kita yakini sebagai cikal bakal “bangsa
Indonesia” pada masa lalu. Kita bisa menyejajarkan pencapaian kekuasaan
Majapahit dengan wilayah Indonesia sekarang ini. Pemerintahan yang kuat dan figur
pemimpin, merupakan salah satu faktor keberhasilan suatu kekuasaan. Masa
pemerintahan Hayam Wuruk dianggap era kejayaan majapahit karena banyaknya
daerah diluar Jawa yang mengakui dan ‘takluk” pada kebesaran Majapahit. Pada
pupuh 13 dan 14 Negarakretagama menyebutkan wilayah Majapahit membentang mulai
Sumatra, Semenanjung melayu, kalimantan, Sulawesi, Maluku, nusa Tenggara dan
daerah pantai Papua Barat. Beberapa negara sahabat disekitar Indo Cina
merupakan negara “sahabat” (mitra satata).
Selain itu juga hampir tidak ada konflik internal ataupun eksternal dengan
daerah-daerah lain, kecuali peristiwa Pasundan-Bubat.
Negarakretagama mencatat pada masa
Hayam Wuruk ini terdapat tahun-tahun penting berkaitan dengan kegiatan
perjalanan ke beberapa daerah di tlatah
Jawa bagian timur, tahun 1353 mengadakan perjalanan ke Pajang, tahun 1357 ke
pantai selatan, dimana pada tahun ini pula terjadi peristiwa Pasundan-Bubat dan bersamaan pula
kunjungan laksamana Mpu Nala yang bermuhibah ke Dompo. Tahun 1359 perjalanan ke
Lumajang, Tarib dan Sampur tahun 1360, tahun 1361 mengunjungi Rabut Palah
(Candi Penataran, Blitar) dan pada 1363 Hayam Wuruk mengunjungi Simping
(Sumberjati) untuk meresmikan candi untuk pendharmaan eyangnya, Kertarajasa
Jayawardhana atau Raden Wijaya. (Munandar,
2008)
Dengan melihat perjalanan dinas Hayam
Wuruk tersebut, “kehadiran” pemimpin ditengah-tengah masyarakat ternyata
menjadi hal yang penting untuk menjaga integrasi suatu bangsa. Hubungan antara
“pusat-daerah” harus terjaga dengan baik. Perjalanan Hayam Wuruk kedaerah
sekitar Lumajang tahun 1359 seakan memperjelas upaya Raja Majapahit untuk
mendekati daerah-daerah yang berpotensi menimbulkan konflik dengan kekuasaan
pusat.
Penduduk Majapahit kebanyakan hidup
dengan tertib dan sejahtera. Kondisi yang ideal tersebut kiranya terbantuk jika
norma dan aturan / hukum dapat ditegakkan. Pada masa itu, Majapahit telah
menerapkan kitab hukum dan perundang-undangan yang sangat dihormati dan ditaati
oleh warganya. Prasasti Bendasari yang dikeluarkan pada masa pemerintahan
Rajasanagara dan juga Prasasti Trowulan berangka tahun 1358 M, menyebutkan
tentang adanya kitab hukum yang dinamakan Kutaramanawa. Isi kitab tersebut
berkenaan dengan hukum pidana dan perdata (hampir mirip dengan KUHP). Kitab
perundang-undangan itu tentunya bertujuan untuk mengatur dengan baik tata
masyarakat, sehingga dalam masa Majapahit tercipta keadaan yang aman dan
tenteram
Sepenggal kisah tentang Majapahit
tersebut sebenarnya dapat dijadikan semacam contoh sejarah bagaimana menghayati
nilai-nilai sejarah dari kehidupan masa lalu. Tidak mustahil jika upaya
membangun kesadaran berbangsa dengan berawal dan berpedoman terhadap
nilai-nilai sejarah.
Belajar sejarah tidak harus melalui
referensi dan berdiam diri membaca buku sejarah di perpustakaan. Mengunjungi
dan melihat langsung keberadaan peninggalan sejarah (seperti kegiatan Lawatan
Sejarah) sebenarnya menjadi alternatif menarik untuk mengamati secara lebih
dalam tentang bagaimana kehidupan masa lalu. Peninggalan sejarah, merupakan
bukti keberadaan dan eksistensi kehidupan multidimensi pada masyarakat pada
masa lalu. Pengenalan terhadap kehidupan masa lalu suatu bangsa erat kaitannya
dengan upaya untuk memperkenalkan sisi historis pada masyarakat kini agar
menjadi sadar terhadap sejarah yang berdimensi masa lalu, sekarang dan yang
akan datang. Keberadaan peninggalan sejarah merupakan aset yang tinggi nilainya
bagi pengungkapan jati diri suatu bangsa, sarana pewarisan nilai kebangsaan dan
tentunya menjadi aset sejarah yang menyimpan data dan fakta kehidupan masa lalu
dari sebuah bangsa.
Jejak
sejarah kehidupan masyarakat masa lalu, antara lain berupa situs sejarah,
merupakan aset bangsa yang tidak ternilai. Keberadaan situs sejarah beserta
karakteristik budaya masyarakat masa lalu yang masih ada sampai detik ini harus
dilestarikan, dikembangkan dan diharapkan berguna sebagai wahana perekat
bangsa. Pusat dari kerajaan Majapahit, termasuk fragmen-fragmen dan peninggalan
budaya dibeberapa daerah, termasuk yang ada dalam “rute Majapahit” menjadi
peninggalan sejarah yang bisa kita ambil nilai-nilainya dalam konteks kekinian.
Melalui pengenalan obyek sejarah dan dikemas secara menarik, diharapkan akan
terjadi pembelajaran sejarah yang lebih lebih menarik dan pemahaman kesejarahan
(historical consciousness) yang lebih
nyata.
Jejak-jejak
sejarah tersebut seakan merupakan rantai penghubung dengan kehidupan sekarang.
Dalam konteks kekinian, kehidupan sekarang merupakan kontinyuitas peristiwa
sejarah masa lalu yang saling berhubungan. Dalam konteks keindonesiaan,
Nilai-nilai kearifan sejarah menjadi penegas arah kehidupan berkebangsaan.
Beberapa pertanyaan
berikut barangkali dapat dijadikan bahan renungan:
- Dengan cara apa dapat dilakukan untuk mengenalkan secara luas keberadaan situs-situs peninggalan sejarah.
- Bagaimanakah menjaga kontinyuitas sejarah dan menampilkan kembali secara menarik supaya masyarakat lebih mengatahui dan paham akan pentingnya peninggalan sejarah masyarakat pada masa lalu
- Bagaimana mencari hubungan keterkaitan tentang pengaruh keberhasilan nilai-nilai kemasyarakatan dalam kehidupan berbangsa pada masa lalu terhadap upaya mengangkat nilai-nilai kekinian dalam upaya membangun kehidupan berkebangsaan yang baik.
- Apakah hal itu bisa di masukkan secara menarik dalam kurikulum pembelajaran sejarah di sekolah supaya kesadaran sejarah sebagai sebuah bangsa yang besar pada masa lalu tetap terjaga.
- Bagimanakah mengembangkan peninggalan sejarah sehingga bermanfaat dalam upaya membangun kesadaran nasional sebagai satu bangsa yang besar.
KESIMPULAN
Kehidupan berkebangsaan Indonesia pada
masa lalu dapat dilihat, salah satunya dari keberadaan kerajaan Majapahit.
Kerajaan ini merupakan simbolisasi akan kejayaan Indonesia pada masa lalu.
Melihat kebesaran kerajaan Majapahit, kita bisa berangan-angan tentang
bagaimana kehidupan bangsa Indonesia yang besar, bersatu, aman, makmur, gemah ripah loh jinawi. Upaya membangun
sebuah bangsa besar layaknya kerajaan Majapahit, harus diwujudkan, salah
satunya dengan memetik nilai sejarah masa lalu. Terlihat bagaimana sinergi
pemimpin/penguasa dan masyarakat ketika masa kejayaan majapahit berlangsung.
Kita bisa belajar dari Majapahit, misalkan tentang bagaimana pentingnya sang
pemimpin (raja dan penguasa) berusaha memahami kehidupan masyarakatnya di
daerah dan bisa saling mendekat. Perjalanan dinas Hayam Wuruk ke beberapa
daerah pada tahun 1350-an merupakan bukti penting dari pernyataan diatas.
Selain itu sebuah bangsa yang makmur,
haruslah memiliki perangkat hukum yang jelas. Yang paling penting adalah
bagaimana hukum yang telah dibuat, dapat disepakati dan ditaati bersama. Kitab Kutaramanawa pada masa Majapahit kiranya
dapat disamakan dengan produk perundang-undangan pada masa sekarang, khususnya
berhubungan dengan hukum pidana.
Menjadi tanggungjawab kita bersama
adalah bagaimana menghadirkan kembali nilai-nilai kesejarahan tersebut dalam
konteks kekinian. Sisa-sisa kehidupan bangsa Indonesia, seperti Majapahit masih
bisa kita temui saat ini, dengan kondisi yang tidak lengkap, sepotong-sepotong,
tersebar di beberapa tempat dan rentan terhadap kerusakan atau hilang. “Bangsa
yang besar adalah bangsa yang menghargai masa lalunya”, demikian kira-kira kata
mutiara yang sesuai dengan konteks tersebut. Artinya, Kita harus belajar
tentang sejarah untuk mewujudkan kehidupan kebangsaan yang lebih baik saat ini.
Kerajaan Majapahit menjadi ingatan kolektif bangsa Indonesia yang dapat kita
jadikan pengingat untuk mewujudkan integrasi bangsa. Melalui studi sejarah,
kita bisa mewujudkan kesadaran sejarah sebagai sebuah bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Aris Munandar. 2008. Ibukota Majapahit, Masa Kejayaan dan Pencapaian.
Jakarta: Komunitas Bambu.
Denys Lombard. 2005 (cet. ke-3). Nusa Jawa Silang Budaya, Jaringan Asia.
Jakarta: Pustaka PT. Gramedia Pustaka Utama.
Hadi Sidomulyo/Nigel Bulough. 2005. Napak
Tilas Pejalanan Mpu Prapanca, Jakarta: Pustaka Widya
Hanan Pamungkas. 2010. Potensi Wisata 900 Km Rute Majapahit.
Surabaya (makalah)
Pegaud, Th. 1972. Tantu Panggelaran: Java in the Fourteeth
Century, Hague: Martinus Nijhoff.
Slamet Mulyana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (Sejarah Kerajaan
Majapahit). Yogyakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara.
________ 2006. Tafsir Sejarah Nagarakretagama. Yogyakarta: PT. LKIS Pelangi
Aksara.
PERJALANAN RAJA HAYAM WURUK
Pengembangan ‘Heritage Trail’ di tingkat Kabupaten
(Bullough, 2009)
Rute perjalanan Raja Hayam Wuruk tahun 1359
dan 1361 melewati wilayah yang sekarang diwakili 11 kabupaten, yaitu:
Tahun
1359
Mojokerto, Pasuruan, Malang, Probolinggo,
Lumajang, Jember, Bondowoso, Situbondo
Tahun
1361
Mojokerto, Jombang, Kediri, Blitar
Tempat lain yang dikunjungi Hayam Wuruk:
Tahun
1353
Perjalanan ke Pajang, melewati Nganjuk, Madiun dan Ngawi. Seandainya mengikuti
jalan di sebelah selatan Gunung Lawu, akan melalui Ponorogo juga.
Tahun
1354
Perjalanan ke Lasem, menyisir pantai utara. Tentunya rute perjalanan melewati
wilayah kabupaten Lamongan dan Tuban.
Tahun
1357
Perjalanan ke pantai selatan, termasuk Lodaya, Tetor dan Sideman. Tempat
yang disebut terakhir ini mungkin terletak di kabupaten Tulungagung.
Tahun
1360
Berburu di Tirib dan Sempur.
Tempat-tempat ini belum diidentifikasikan, tetapi mungkin terletak di daerah
Lamongan.
Disebutkan juga kunjungan ke Sima, Wewe, Pikatan dan Candilima, yang semua terletak di
sebelah timur dan tenggara Trowulan, di kabupaten Mojokerto.
Selain itu, terdapat informasi tentang
kunjungan ke wilayah Kadhiri (Daha, Polaman, Kuwu, Linggamarabangun),
serta Balitar, Jimur, Silahrit dan Palah (Candi Panataran).
Adapun di Janggala Raja Hayam Wuruk sering berkunjung ke Surabhaya, sebelum melanjutkan perjalanan ke Buwun (Bawean?).
Demikian jumlah kabupaten di Jawa Timur
yang dapat dihubungkan langsung dengan perjalanan Raja Hayam Wuruk adalah 16,
bahkan mungkin 18 atau 19.
Rute Raja Majapahit
1359 M
Rute Raja Majapahit 1361 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar