MENGGAGAS HARMONISASI UMAT BERAGAMA DI JAWA TIMUR
MELALUI TELADAN KEHIDUPAN BERAGAMA PADA MASA KERAJAAN MAJAPAHIT
Oleh:
Agustiar Saifudin, S.Pd
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Laporan Human Rights Watch (HRW) yang dimuat di media Kompas (Jumat, 1 Maret 2013) menyimpulkan bahwa pemerintah
mewacanakan pentingnya menjaga kehidupan majemuk yang saling menghargai,
walaupun kenyataannya penegakan hukum tidak sungguh-sungguh terhadap pelaku
kekerasan, khususnya dalam bidang keagamaan. Laporan tersebut disusun dari
hasil wawancara 115 orang, termasuk 71 korban kekerasan, 26 pemuka agama,
polisi, pemimpin kelompok militan, pengacara dan jaksa di 10 provinsi di pulau
Jawa, Madura, Sumatra dan Timor pada bulan Agustus 2011 hingga Desember 2012.
Hasil laporan menunjukkan, bangsa
Indonesia dengan beragam suku, agama dan budaya memiliki tradisi toleransi
sejak negara ini belum berdiri. Kearifan itu dirumuskan dalam Pancasila dan UUD
1945 yang menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan. Namun, beberapa tahun belakangan,
kekerasan atas nama agama terhadap kelompok-kelompok minoritas semakin
meningkat. Kelompok-kelompok militan menghalangi izin rumah ibadah, menyerang
kelompok lain yang berbeda, membakar rumah, bahkan hingga menewaskan sejumlah
korban.
Keberagaman dalam masyarakat seperti
di Indonesia adalah sesuatu yang tidak terhindarkan. Namun demikian, kemajemukan atau keragaman agama sebagai salah satu warna kebudayaan
Indonesia sering kali menimbulkan masalah publik dalam interaksi sosial
masyarakat. Dari serangkaian
konflik sosial di Indonesia dari pertengahan dekade 90-an sampai memasuki 2000,
antara lain dipicu oleh perbedaan agama.
Dalam khasanah sejarah, dapat
ditelusuri tentang bagaimana kehidupan beragama pada zaman Kerajaan Majapahit.
Sebagai salah satu kerajaan besar abad ke-13-15 M di Jawa Timur, wilayah
Majapahit membentang luas seantero Nusantara. Pada zaman keemasannya, Majapahit
ternyata telah memberikan contoh pada kita sekarang tentang bagaimana toleransi
kehidupan masyarakat dalam bidang keagamaan. Bahkan, di dekat situs istana
Majapahit, diperkirakan telah ada komunitas Islam. Hal itu terbukti dari
keberadaan situs makam Troloyo, diperkirakan telah ada pada pertengahan abad
ke-14, saat Majapahit berada pada zaman keemasan. Menurut Ricklefs (Sejarah Indonesia Modern 1200-2004), Batu
nisan pertama yang ditemukan bertarikh 1290 S (1368 M), batu nisan lain
bertarikh 1298 sampai 1533 S ( 1376 – 1611 M). Batu-batu nisan di situs makam
Troloyo menunjukkan makam orang-orang muslim, tapi dengan satu pengecualian,
semua tarikhnya menggunakan kalender Saka India bukannya tahun Hijriyah Islam
dan menggunakan angka-angka Jawa kuno bukannya angka-angka Arab. Digunakannya
tarikh ini dan angka-angka tahun Jawa kuno pada batu-batu nisan menunjukkan
bahwa makam Troloyo adalah pemakaman muslim Jawa, bukan muslim non Jawa.
Nisan-nisan makam petilasan di
Troloyo ini penuh tulisan Arab hingga mirip prasati. Lafalnya diambil dari
bacaan Doa, kalimah Thayibah dan petikan ayat-ayat AlQuran dengan bentuk huruf
sedikit kaku. Tampaknya pembuatnya seorang mualaf dalam Islam. Isinya pun bukan
bersifat data kelahiran dan kematian tokoh yang dimakamkan, melainkan lebih
banyak bersifat dakwah antara lain kutipan Surat Ar-Rahman ayat 26-27.
P.J. Veth adalah sarjana
Belanda yang pertama kali meneliti dan menulis makam Troloyo dalam buku JAVA II tahun 1873.L.C. Damais peneliti dari
Prancis yang mengikutinya menyebutkan angka tahun pada nisan mulai abad XIV
hingga XVI. Soeyono Wisnoewhardono, Staf Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala
di Trowulan mengatakan, nisan-nisan itu membuktikan ketika kerajaan Majapahit
masih berdiri, orang-orang Islam sudah bermukim secara damai disekitar ibu
kota. Tampak jelas disini agama Islam masuk kebumi Majapahit penuh kedamaian
dan toleransi.
Satu situs kepurbakalaan lagi
di kecamatan trowulan yakni di desa dan kecamatan Trowulan adalah Makam Putri Campa. Menurut Babad Tanah jawi, Putri
Campa (Jeumpa, bahasa Aceh) adalah istri Prabu Brawijaya yang beragama Islam. Dua nisan yang ditemukan dikompleks kekunaan ini berangka tahun 1370 Saka (1448 Masehi) dan 1313 Saka (1391 Masehi). Dalam legenda rakyat disebutkan dengan memperistri Putri Campa itu, sang Prabu sebenarnya sudah memeluk agama Islam. (http://www.jawapalace.org/majapahit.htm)
Campa (Jeumpa, bahasa Aceh) adalah istri Prabu Brawijaya yang beragama Islam. Dua nisan yang ditemukan dikompleks kekunaan ini berangka tahun 1370 Saka (1448 Masehi) dan 1313 Saka (1391 Masehi). Dalam legenda rakyat disebutkan dengan memperistri Putri Campa itu, sang Prabu sebenarnya sudah memeluk agama Islam. (http://www.jawapalace.org/majapahit.htm)
Secara umum, agama mayoritas yang
dianut masyarakat pada zaman Majapahit adalah Hindu aliran Siwa, namun demikian
agama Budha juga memiliki pengikut yang cukup banyak. Hal itu dapat ditelusuri
dari keberadaan jabatan Dharmadhyaksa.
Ada dua pemangku jabatan Dharmadyaksa,
yaitu Dharmadyaksa ring Kasaiwan dan Dharmadyaksa ring Kasogatan. Yang
pertama diberi tugas untuk mengurusi hal-hal yg berkaitan dengan agama Siwa,
yang kedua mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan agama Budha (Slamet Muljana,
Menuju Puncak Kemegahan, 2008). Pejabat tinggi lainnya disebut dengan mantri her haji yang mengurusi
tempat-tempat keagamaan kaum Rsi,
seperti tempat pertapaan, pemukiman kaum agamawan (krsyan) dan juga pusat pendidikan agama yaitu mandhala
dan kadewaguruan (Denys Lombart, Nusa Jawa Silang Budaya, Warisan
Kerajaan-Kerajaan Konsentris. 2005)
Beberapa hal diatas dapat dijadikan
model tentang bagaimana keberadaan umat beragama yang plural, tidaklah
menyebabkan terganggunya kehidupan beragama. Idealnya, keberadaan suatu agama
tidak menyebabkan saling permusuhan dengan agama lain, meskipun ada beberapa
anggapan bahwa Islam yang hadir kemudian di Majapahit menyebabkan
“tersingkirnya” kehidupan agama Hindu dan Budha yang telah lama menjadi agama yang
mapan di Jawa.
B. RUMUSAN MASALAH
Pluralitas kehidupan beragama sekarang
ini, sebenarnya dapat ditelusuri fakta sejarahnya pada masa lalu. Majapahit
memberikan contoh bahwa keberagaman dalam agama masyarakat sebenarnya bisa
menjadi faktor pemersatu bangsa. Disisi lain, pemaknaan yang tidak benar dalam
beragama dapat menimbulkan potensi konflik dalam masyarakat. Berangkat dari permasalahan diatas, ada beberapa rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini:
1.
Seperti
apakah potret beberapa tempat ibadah dalam kehidupan beragama masyarakat di
Surabaya?
2.
Bagaimana
kehidupan beragama masyararakat pada zaman Majapahit?
3.
Apa yang
dapat kita teladani dalam membangun kehidupan beragama yang harmonis dan
toleran?
C. TUJUAN
PENULISAN
Dari rumusan masalah yang telah
tercantum di atas, penelitian ini memiliki tujuan, yaitu :
1. Untuk mengetahui tentang potret beberapa tempat
ibadah dalam kehidupan beragama masyarakat di Surabaya.
2. Memahami tentang kehidupan beragama masyararakat
pada zaman Majapahit.
3. Menemukan format yang tepat untuk meneladani
kehidupan beragama yang harmonis dan toleran.
D. SUMBER REFERENSI
Makalah ini termasuk karya tulis
sejarah. Kami mencoba untuk menulis berdasarkan pedoman penulisan sejarah,
meskipun sumber sejarah yang digunakan terbatas, selain juga hasil wawancara
dengan informan, dalam hal ini adalah para “juru kunci” situs sejarah keagamaan
di Surabaya. Selain itu, makalah ini kami tulis berdasarkan pengamatan terhadap
situs-situs sejarah dan budaya yang dikunjungi, meliputi beberapa tempat ibadah
keagamaan, baik Islam, Katholik, Hindu, Konghucu mapun Sanggar kerohanian Sapta
Dharma. Sumber-sumber sejarah yang kami dapat kemudian disusun dengan melihat perbandingan
kehidupan keagamaan pada masa Kerajaan Majapahit berdasarkan konteks kehidupan
beragama pada masa kini
Tidak kalah pentingnya, kami berusaha
mendapatkan landasan kepustakaan dari beberapa referensi, kemudian kami
deskripsikan sesuai dengan tema penulisan, sehingga dengan pengamatan ke objek
sejarah yang dikunjungi diharapkan akan memperkaya subtansi tulisan. Beberapa
referensi sumber sejarah itu antara lain, karya Prof. Slamet Muljana “Tafsir Sejarah Nagarakretagama”, Menuju Pundak Kemegahan (Sejarah Kerajaan
Majapahit)., dan Runtuhnya Kerajaan
Hindu-Jawa dan timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Selain itu ada
buku“Nusa Jawa Silang Budaya” karya
Denys Lombart, kemudian tulisan Agus Aris Munandar (2008) “Ibukota Majapahit, Masa Kejayaan dan Pencapaian”, selain itu juga
beberapa referensi terkait pluralisme agama seperti; Sang Pelintas Batas; Biografi Djohan Effendi yang ditulis Ahmad
Gaus AF. Keterangan diambil dari situs internet, turut memperkaya penulisan karya
tulis ini
BAB II
MENELADANI HARMONISASI KEHIDUPAN BERAGAMA PADA ZAMAN
KEAJAAN MAJAPAHIT
A. MENELUSURI OBJEK SEJARAH TEMPAT IBADAH KEAGAMAAN DI
SURABAYA
Beberapa lokasi tempat ibadah kami
kunjungi dalam lawatan sejarah tahun 2013. Lawatan terhadap objek tempat ibadah
beberapa agama berbeda dimaksudkan untuk mengetahui secara lebih dekat dinamika
kehidupan beragama masyarakat. Djohan Effendi dalam buku Ahmad Gaus (Sang Pelintas Batas; Biografi Djohan Effendi.
20009), menyatakan bahwa
ketidaktahuan dan tidak adanya keinginan mengenal agama lain, bisa menyebabkan
kecurigaan yang berujung terjadinya konflik antar umat beragama. Upaya untuk
saling mendekat dan mengenal, tidak harus melalui acara seremonial yang resmi
dan mahal, yang terpenting terbina hubungan personal yang akrab diantara para
pemuka dan pemeluk agama atau kepercayaan.
Klaim bahwa ”agamaku yang paling benar
dan agama lain salah, karena itu harus diselamatkan (diajak masuk ke agamaku)”
ditengarai telah menjadi sumber kecurigaan dan konflik diantara para penganut
agama (Ahmad Gaus. hal 162-171). Karena itu pengenalan peserta lawatan sejarah
terhadap tempat-tempat ibadah keagamaan, diharapkan akan menumbuhkan semangat
mengenal dan pada akhirnya terjalin harmonisasi antar umat beragama.
Berikut penjelasan ringkas perjalanan
mengunjungi tempat-tempat ibadah keagamaan di Surabaya, antara lain;
1.
Pura Agung Jagad Karana
Pura Agung Jagad Karana adalah salah
satu pura besar di Surabaya. Tempat ibadah agama Hindu ini didirikan oleh para
“pelaut” dari bali berjumlah 111 orang pada tahun 1966. Kebesaran pura ini
antara lain dapat dilihat dari megahnya bangunan menggunakan beragam arsitektur
khas Bali, antara lain beberapa bagian bangunan dipisahkan oleh adanya pagar
tembok dan gapura yang megah, beberapa tempat menunjukkan bangunan dengan
nama-nama tertentu, seperti Pasraman,
Balai Manusia Yadnya, Balai Pamandegan dan Balai Pawaregan. Ada simbol-simbol keagamaan, seperti patung
seorang dewi, angsa, bunga teratai diatas air, bangunan gapura dan bangunan
pura. Selain itu disisi lain juga kami temui keberadaan Sekolah Agama Hindu
Dewi Saraswati II.
Menurut penuturan Pemangku pura
bernama Ketut Sedana dan Putu Mas, dalam agama Hindu memang dikenal akan
lambang-lambang keagamaan. Menurut mereka, lambang-lambang keagamaan tersebut
menjadi semacam identitas dan perantara dalam mendekatkan diri pada Tuhan Yang
Maha Kuasa. Beberapa lambang tersebut antara lain Swastika yang berarti “semoga kita selamat”. Ada lagi bunga-bunga
yang merupakan piranti wajib dalam ritual agama Hindu. Bunga, dalam terminologi
Hindu merupakan benda yang mewakili bahasa kasih sayang dan keindahan, sehingga
bunga menjadi interpratasi tentang
semangat kasih sayang. Menurut penuturan sang pemangku, konsepsi tentang
Tuhan adalah achyintia, Sesuatu yang
tidak terfikirkan, tidak terbatas, tidak terinterpretasikan. Fikiran manusia
tidak dapat menjangkau keberadaan Tuhan.
Pemangku Ketut Sedana, menjelaskan
bahwa selama ini mereka hidup berdampingan secara rukun dengan umat agama lain.
Kami mendapati ada dua masjid besar yang berdiri tidak jauh dari Pura Jagad
Karana. Menurutnya, semua agama mengajarkan umatnya tentang bagaimana
mendekatkan diri dengan Tuhannya. Umat Hindu menganggap bahwa kebersihan hati
adalah sesuatu yang penting dimiliki. Hal terpenting adalah menjaga kehidupan
beragama yang rukun dan damai, seperti dalam istilah Bhinneka Tunggal Ika.
(Gambar; Papan nama Pura Agung Jagad Karana.
Koleksi pribadi)
(Gambar; Tempat Pemujaan Pura Agung Jagad Karana.
Koleksi pribadi)
(Gambar;
Prasasti Peresmian Sekolah Agama Hindu di Pura Agung Jagad Karana. Koleksi
pribadi)
Gereja Kelahiran Santa Maria Perawan
adalah salah satu gereja Katolik besar di Surabaya, berlokasi di Jalan Kepanjen
4-6 Surabaya. Gereja ini dibangun pada tahun 1899. Pada tanggal 5 Agustus 1900
gereja diberkati (diresmikan) oleh Mgr. Edmundus Sybrandus Luypen, SJ.
Dipersembahkan kepada Santa Perawan Maria dengan nama “Onze Live Vrouw Geboorte” (Kelahiran Santa Perawan Maria). Terdapat
16 geraja katolik lain di Surabaya yang disebut Gereja Paroki.
(Gambar; Suasana di dalam Gereja Kelahiran SP Maria.
Koleksi pribadi)
(Gambar; Suasana di luar Gereja Kelahiran SP
Maria. Koleksi pribadi)
Klentheng Hong Tiek Hian adalah
bangunan suci masyarakat Tionghoa. Tempat ibadah ini termasuk tertua di
Surabaya. Menurut penuturan Bpk. Tiong selaku pengurus Klenteng Hong Tiek Hian,
Tempat ini sudah dibangun sekitar 500 tahun yang lalu. Klenteng ini masuk dalam
kategori Klenteng Tri Dharma, artiny ada 3 “agama” yang dianut, yaitu Budha,
Konghucu dan Taoisme. Ada banyak ornamen yang menjadi ciri khas bangunan
Klenteng, seperti patung-patung dewa, lilin-lilin yang berdiameter sangat
besar, dupa, warna merah khas disetiap sudut bangunan, dll. Saat ini, selain
sebagai tempat ibadah, Klentheng Hong Tiek Hian juga difungsikan sebagai tempat
wisata religius di Surabaya.
(Gambar; Suasana di depan pintu masuk Klentheng
Hong Tiek Hian. Koleksi pribadi)
(Gambar; Suasana di dalam Klentheng Hong Tiek
Hian. Koleksi pribadi)
Masjid Ampel dibangun oleh Sunan Ampel
beserta para pengikutnya. Menurut Zeid Mohamad, selaku pengurus yayasan, Masjid
Ampel dibangun pada tahun 1396 M. Beberapa ornamen Masjid Ampel menunjukkan
adanya pengaruh Hindu, seperti ujung atap masjid yang mempunyai ornamen gaya
kerajaan Majapahit, beberapa peninggalan dari batu yang mirip dengan Lingga.
Selain itu, bangunan Masjid Ampel juga menandakan ciri perpaduan gaya Jawa dan
Cina, hal itu seperti terlihat dari bentuk pintu dan jendela.
(Gambar; Ornamen perpaduan gaya jawa dan Cina di
Masjid Ampel. Koleksi pribadi)
(Gambar; Sumur tua di dalam di Masjid Ampel.
Koleksi pribadi)
Istilah Sanggar, menurut penuturan
penganut Aliran Sapta Dharma, adalah sebuah tempat yang dipergunakan untuk
pusat aktifitas oleh batin dan kerohanian. Sanggar Pamuja Sapta Dharma Surabaya
berada di Jalan Lebak Jaya III/28b. Sanggar ini menjadi salah satu pusat
aktifitas kerohanian pengikut Sapta Dharma di Surabaya bagian timur. Sesuai
dengan namanya. Aliran Sapta Dharma mengajarkan penganutnya menjalankan 7 ajaran
utama (disebut wewarah pitu).
(Gambar; Sanggar Pamuja Sapta Dharma. Koleksi
pribadi)
(Gambar; Suasana ritual Sapta Dharma. Sumber: www.remajaksdgresik.blogspot.com)
(Gambar; Lambang Paguyuban Sapta Dharma. Sumber: www.sapta-darma.blogspot.com)
B. KEHIDUPAN BERAGAMA PADA ZAMAN MAJAPAHIT
Merunut kehidupan keagamaan pada masa lalu dapat
ditelusuri pada zaman Majapahit. Seperti
yang dijelaskan oleh Slamet Muljana (Tafsir
Sejarah Nagarakretagama; 2006), pada zaman Majapahit, agama menjiwai
segenap lapangan kehidupan, termasuk kebudayaan. Semua cabang kebudayaan
seperti seni bangunan, seni pahat, seni sastra dan seni panggung bernafaskan
keagamaan. Namun pada zaman majapahit tidak menghasilkan bangunan-bangunan
keagamaan semegah kelompok candi Borobudur dan Prambanan di Jawa tengah pada zaman Mataram kuno. Candi
Borobudur, Pawon dan Mendut dibangun pada masa dinasti Syeilendra yang beragama
Budha pada sekitar abad ke-9. Setelah Mataram diperintah oleh para dinasti
Sanjaya yang beragama Hindu Siwa, mulailah dibangun candi-candi bernafaskan Siwa,
seperti kelompok candi Prambanan.
Semangat
keagamaan raja dan rakyat menggugah untuk membangun candi-candi yang diharapkan
dapat menandingi kemegahan candi-candi Budha. Pembangunan monumen keagamaan
tersebut hanya mungkin terutama berkat dorongan semangat keagamaan yang
bernyala-nyala di lingkungan keraton dikalangan rakyat, yang didukung oleh
kekayaan negara dan kemakmuran rakyat yang berlimpah ruah. Raja memberikan
biaya, rakyat menunjang kerja, para seniman menyumbang bakat dalam penggarapannya dasn para pendeta
memberikan petunjuk-petunjuk dalam perencanaannya. Bagaimanapun
bangunan-bangunan itu adalah hasil gotong royong dan kerjasama antara berbagai
faktor tersebut diatas demi keagungan agama.
Rupanya,
bangunan-bangunan candi di Jawa Timur agak berbeda dengan percandian di Jawa
Tengah. Candi-candi peninggalan di Tawa Timur peninggalan era Singasari dan Majapahit
adalah candi makam keluarga raja, jumlahnya banyak tapi wujudnya kecil-kecil
jika dibandingkan dengan kemegahan kelompok candi Borobudur dan Prambanan.
Pembangunan candi-candi di Jawa Timur dimaksudkan sebagai tempat pemujaan para
leluhur para raja yang telah wafat, digunakan untuk menyimpan abu jenazah dan
arca dewa sebagai lambang keluarga yang dipuja disitu. Pada tahun 1965 Masehi,
menurut Nagarakretagama pupuh 74 dan
78, seperti yang diuraikan oleh pujangga Prapanca, ada dua puluh tujuh buah
candi makam yang ada pada zaman Majapahit. Meskipun wujudnya candi Siwa atau
Budha, pada hakikatnya adalah candi makam para raja atau leluhur para raja.
Pada
umumnya, masyarakat pada zaman Majapahit adalah penganut Hindu. Agama ini
diperkirakan berakar dengan kuat di Jawa Timur sejak pertengahan abad ke-10
berkat perpindahan kekuasaan dari Jawa Tengah oleh Raja Mpu Sindok. Pada
mulanya, Hinduisme hanya dikenal disekitar lingkungan keraton, namun lambat
laun masuk juga ke pelosok-pelosok desa, bertemu dengan kepercayaan masyarakat
lama yang pemuja arwah leluhur. Pertemuan itu mengakibatkan timbulnya proses
akulturasi. Masyarakat di ibukota kerajaan dikuasai oleh kebudayaan Hindu.
Hinduisme menjiwai kebudayaan keraton, sedangkan dipedesaan, dimana kebudayaan
asli begitu mengakar kuat akan berpadu dengan kebudayaan Hindu. Berkat perkembangan Hinduisme yang membawa
ajaran agama, pengetahuan dan sastra, orang Jawa dapat membaca dan menulis. Hal
ini yang menyebabkan Jawa Timur memasuki zaman sejarah. Semua kerajaan di Jawa
Timur mulai dari Kahuripan, Jenggala, Daha, Singasari dan Majapahit berwatak
Hindu. Timbulnya kerajaan-kerajaan mengangkat derajat Jawa Timur di dalam
sejarah Nusantara.
Sampai
zaman keemasan Majapahit, pada pertengahan abad ke-14, Hinduisme telah berakar
di Jawa Timur selama sekitar empat ratus tahun lamanya dan menyebar sampai ke
pelosok-pelosok ditepi hutan dan kaki gunung. Nagarakretagama pupuh 73 – 76 mencatat candi makam keluarga raja,
berpuluh-puluh biara dan desa perdikan milik empat aliran agama, Siwa, Brahma,
Wisnu dan Budha, di Jawa Timur dan Bali. Sebagian besar dari jumlah biara dan
desa perdikan tersebut berada di pelosok pedesaan. Raja Hayam Wuruk
memperlakukan dengan baik semua agama (dalam hal ini khususnya Hindu Siwa dan
Budha). Kunjungan-kunjungan dan perbaikan terhadap candi makam, biara dan
desa-desa perdikan dipelosok wilayah kerajaan, membuktikan perhatian yang
mendalam dari Sang raja terhadap kehidupan keagamaan dalam masyarakat.
Pada zaman
Majapahit, terdapat empat aliran agama, yaitu Agama Siwa, Brahma, Wisnu dan
Budha. Pengikut agama Brahma sangat sedikit sehingga ada istilah Tripaksa, yaitu tiga aliran agama di
wilayah Majapahit meliputi Agama Siwa, Wisnu dan Budha. Agama Brahma tidak
masuk karena terlalu sedikit pengikutnya. Agama Islam belum diakui sebagai
agama resmi di Majapahit pada zaman Raja Hayam Wuruk. Negarakretagama
tidak menyinggung sedikitpun tentang keberadaan pengikut agama Islam. Bilapun
ada orang-orang yang beragama Islam di Majapahit ketika itu, kemungkinan
terbatas sampai kepada para pedagang asing Arab atau Cina yang kebanyakan
tinggal di kota-kota pelabuhan. Keberadaan Islam di Majapahit pada pertengahan
abad ke-14 terasa tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan
masyarakat.
Jika sampai
pertengahan abad ke-14 Islam belum menjadi agama yang diakui di Majapahit, maka
sekitar satu abad kemudian, Islam telah berkembang dengan pesat, terutama di pesisir
utara Jawa Timur seperti Surabaya, Gresik dan Tuban. Perlu dicatat bahwa
perkembangan Islam atas beberapa bagian
wilayah kerajaan Majapahit bukanlah berarti Islam hadir dan menghapus secara
keseluruhan warisan tradisi dan budaya sebelumnya, namun lebih pada terjadinya
percampuaran, Islam tampil sebagai agama dan budaya yang akulturatif terhadap
budaya Hindu-Budha.
Di kompleks makam Sunan Bonang di Tuban, Jawa Timur
misalnya, berdiri tegak Candi Siwa Budha dengan angka
tahun 1400 Saka (1478 masehi) yang kini letaknya
berada dibelakang kantor Pemda Tuban. Padahal, saat itu sudah berdiri pondok pesantren asuhan Sunan Bonang. Pondok pesantren dan candi yang berdekatan letaknya ini dilestarikan dalam sebuah maket kecil dari kayu tua yang kini tersimpan di Museum Kambang Putih, Tuban.
Di Kudus, Jawa Tengah, ketika Sunan Kudus Ja'far Sodiq menyebarkan ajaran
Islam disana, ia melarang umat Islam menyembelih sapi untuk dimakan. Walau daging sapi halal menurut Islam tetapi dilarang menyembelihnya untuk menghormati kepercayaan umat Hindu yang memuliakan sapi. Untuk menunjukkan rasa toleransinya kepada umat Hindu, Sunan Kudus menambatkan sapi dihalaman masjid yang tempatnya masih dilestarikan sampai sekarang. Bahkan menara Masjid Kudus dibangun dengan gaya arsitektur candi Hindu. (http://www.jawapalace.org/majapahit.htm)
Keberadaan Islam
dan kaum muslim seringkali dikaitkan dengan semakin memudarnya kekuasaan
Majapahit, terutama dengan tafsiran sejarah beberapa Sejarawan yang menganggap
bahwa eksistensi Kerajaan Demak (secara politis) turut berperan terhadap
keruntuhan Majapahit. Prof. Slamet Muljana (Runtuhnya
Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam
di Nusantara. 2008), bahkan mengajukan teori yang menjelaskan
peranan bangsa Cina dalam persebaran agama Islam di Indonesia pada periode akhir
kerajaan Majapahit dan periode awal keberadaan kerajaan Islam di Demak Jawa
Tengah.
Keruntuhan
Kerajaan Majapahit banyak mengantarkan suatu peradaban bagi orang
Cina dalam proses Islamisasi di Nusantara. Stigma yang kecenderungan para sejarawan dalam mengungkapkan bahwa kedatangan Islam di Indonesia lebih pada kecenderungan orang-orang Arab yang berjasa sebagai penyebar Islam, sehingga tidak pernah melirik, orang Cina pernah andil dalam membangun peradaban Islam.
Pijakan
yang dipakai rujukan oleh Slamet Muljana hanya membandingkan dari tiga sumber,
yaitu Serat Kanda, Babad Tanah Jawi dan naskah dari Kelenteng Sam Po Kong yang ditulis Poortman dan dikutip oleh
Parlindungan. Residen Poortman tahun 1928 telah ditugasi
pemerintah kolonial untuk menyelidiki apakah Raden Patah itu
orang Cina atau bukan sebagai dasar rujukan awal.
Perkembangan
peristiwa itu ternyata menjadi sejarah politisasi bahwa Cina
dikaitkan terhadap pemberontakan Partai Komunis Indonesia yang terjadi tahun 1926/1927, ini memberikan kesempatan kepada pemerintah kolonial untuk menggeledah Kelenteng Sam Po Kong di Semarang untuk mengangkut naskah berbahasa Tionghoa yang terdapat di sana, sebagian sudah berusia 400tahun, sebanyak 3 cikar (pedati yang ditarik lembu). Arsip Poortman ini dikutip oleh Mangaraja Onggang Parlindungan yang menulis buku yang kontroversial, Tuanku Rao.
Pada
tahapan selanjutnya Slamet memberikan ilustrasi bahwa Bong Swi Hoo yang
datang di Jawa tahun 1445 sama dengan Sunan Ampel. Bong Swi Hoo ini menikah dengan Ni Gede Manila yang merupakan anak Gan Eng Cu (mantan Kapitan Cina di Manila yang dipindahkan ke Tuban sejak tahun 1423). Dari perkawinan ini lahirnya Bonang yang kemudian dikenal sebagai Sunan Bonang. Bonang ini diasuh oleh Sunan Ampel bersama dengan Giri yang kemudian dikenal sebagai Sunan Giri.
Putra Gan
Eng Cu yang lain adalah Gan Si Cang yang menjadi Kapitan Cina di Semarang.
Tahun 1481 Gan Si Cang memimpin pembangunan Masjid Demak dengan
tukang-tukang kayu dari galangan kapal Semarang. Tiang penyangga masjid itu dibangun dengan model konstruksi tiang kapal yang terdiri dari kepingan-kepingan kayu yang tersusun rapi. Tiang itu dianggap lebih kuat menahan angin badai daripada tiang yang terbuat dari kayu yang utuh. Slamet menyimpulkan bahwa Sunan Kali Jaga yang masa mudanya bernama Raden Said itu tak lain dari Gan Si Cang. Sedangkan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, menurut Slamet Muljana, adalah Toh A Bo, putra dari Sultan Trenggana memerintah di Demak tahun 1521-1546. Sementara itu, Sunan Kudus atau Jafar Sidik nama lainnya adalah Ja Tik Su.
Tentu tidak
ada larangan untuk berpendapat bahwa sebagian Wali Songo itu berasal dari Cina
atau keturunan Cina. Namun, kelemahan Slamet Muljana, ia hanya mendasarkan
kesimpulannya pada buku yang ditulis oleh MO Parlindungan. Ia hanya melihat arsip Poortman dan tidak membaca sendiri naskah Cina
tersebut. Begitu pula, Slamet sendiri tidak memeriksa sendiri naskah-naskah
yang berasal dari kelenteng Sam Po Kong Semarang itu.
Sebetulnya
pada masa ini cukup banyak sumber mengenai Laksamana Muslim Cheng
Ho yang berlayar ke berbagai penjuru dunia awal abad XV dengan armada yang lebih besar dari pelaut Eropa. Cheng Ho sendiri mempunyai penerjemah Ma Huan yang juga beragama Islam dan menuliskan pengalaman ini dalam buku Yingyai Senglan. Di dalam buku ini dilaporkan tentang masyarakat Cina yang bermukim di Jawa yang berasal dari Kanton, Zhangzhou, dan Quanzhou. Mereka telah meninggalkan negeri Cina dan menetap di pelabuhan-pelabuhan pesisir Jawa sebelah timur. Di Tuban mereka merupakan sebagian besar penduduk yang waktu itu jumlahnya mencapai ''seribu keluarga lebih sedikit''. Di Gresik hanya ada ''pantai tanpa penghuni'' sebelum orang Kanton menetap di sana. Di Surabaya sejumlah besar penduduk juga orang Cina. Menurut Ma Huan, kebanyakan orang Cina itu telah masuk agama Islam dan menaati aturan agama.
Fakta
sejarah mulai abad ke-15 di masa dinasti Ming (1368-1643), orang-orang
Tionghoa dari Yunnan mulai berdatangan untuk menyebarkan agama Islam, terutama di pulau Jawa. Tak dapat disangkal bahwa Laksamana Cheng Ho alias Sam Po Kong pada tahun 1410 dan tahun 1416 dengan armada yang dipimpinnya mendarat di pantai Simongan, Semarang. Selain menjadi utusan Kaisar Yung Lo untuk mengunjungi Raja Majapahit, ia juga bertujuan menyebarkan agama Islam. Selain Laksamana Cheng Ho, sebagian besar dari Wali Songo yang berjasa menyebarkan agama Islam di pesisir Pulau Jawa dan mendirikan kerajaan Islam pertama di Demak berasal dari etnik Tionghoa.
Para wali
tersebut antara lain Sunan Bonang (Bong Ang), Sunan Kalijaga (Gan Si Cang),
Sunan Ngampel (Bong Swi Hoo), Sunan Gunung Jati (Toh A Bo) konon berasal dari
Champa (Kamboja/Vietnam), Manila dan Tiongkok. Demikian juga Raden Patah alias
Jin Bun (Cek Ko Po), sultan pertama kerajaan Islam Demak, adalah putra Kung Ta
Bu Mi (Kertabumi), raja Majapahit (Brawijaya V) yang menikah dengan putri Cina,
anak pedagang Tionghoa bernama Ban Hong (Babah Bantong).
Penyebaran
agama Islam di Nusantara ada pandangan yang menyatakan bahwa Islam yang
berkembang di sini berasal Hadramaut, Arab Selatan. Penyebarannya justru datang
dari India dan Islam yang berkembang di kepulauan ini berasal dari Cina. Tetapi
Menurut sebagian sejarawan Islam, bahwa Islam datang dari Gujarat, India antara
lain, karena persamaan motif batu nisan Maulana Malik Ibrahim di Gresik dengan
yang ada di Gujarat. Hal ini didukung pula karena faktor bahasa, istilah
pinjaman dari bahasa Arab tidak murni menurut lafal aslinya, seperti terlihat
dalam kata salat, zakat, dan seterusnya.
Jadi kata
itu dipinjam melalui bahasa Persia atau bahasa-bahasa umat Islam di daratan
Asia yang menjadikan bahasa Persi sebagai rujukan. Namun, mazhab di Asia
daratan itu adalah Sunni-Hanafi bukan Sunni Syafii yang banyak dianut di
Nusantara. Maka Islam itu datang dari Arabia Selatan, khususnya Yaman dan
Hadramaut yang juga menganut mazhab Sunni-Syafii. Yang didukung pula dengan
fakta, bahwa kawasan itu terkenal dengan aktivitas perdagangan laut Internasional. Sejalan dengan persoalan istilah pinjaman di atas.
Islam di Nusantara berasal dari Cina, paling tidak dalam satu fase tertentu perkembangannya di Asia Tenggara patut diperhitungkan, karena terdapat kesesuaian dalam hal mazhab (Sunni-Syafii) dan faktor bahasa tadi.
Pengembangan
Islam di Nusantara, sebagian berasal dari Arabia Selatan, India, dan Cina.
Peristiwa itu bisa terjadi bersamaan atau berurutan pada satu atau berbagai
wilayah. Lagi pula perlu dibedakan antara kedatangan agama Islam, yang mulai
dianut oleh penduduk setempat dan berkembang di tengah masyarakat di Nusantara,
sebagian berasal dari Arabia Selatan, India, dan Cina terjadi bersamaan atau
berurutan pada satu atau berbagai wilayah. Lagi pula perlu dibedakan antara kedatangan
agama Islam, yang mulai dianut oleh penduduk setempat dan berkembang di tengah masyarakat.
Jadi, Pada zaman
Majapahit kita dapat melihat keragaman dalam hal kehidupan beragama. Pada
periode transisi, berakhirnya kekuasaan Majapahit yang bercorak Hindu-Budha
kepada kerajaan Demak yang bercorak Islam. Pada awalnya barangkali, Islam tidak
tampil seperti saat ini, dimana agama ini mayoritas dalam hal statistik, namun
Islam tampil sebagai kekuatan politik baru yang menggantikan kekuatan politik
lama dari era perkembangan Hindu dan Budha. Tidak begitu diketahui secara pasti
bagaimana praktik pelaksanaan agama Islam ketika itu, namun bukti-bukti sejarah
menunjukkan bahwa aspek budaya antara Hindu-Budha dan Islam dapat hidup selaras
dan akulturatif. Tentang dari manakah Islam yang berkembang di Indonesia,
apakah dari Arab langsung, India, Persia atau bahkan dari Cina, kiranya tidak
menjadi persoalan yang serius. Yang lebih penting adalah menjadikan Islam, juga
agama apapun di Indonesia dapat hidup harmonis dan saling menghormati.
C.
MENELADANI KEHIDUPAN BERAGAMA YANG HARMONIS DAN
TOLERAN.
Pada pemerintahan raja Hayam Wuruk, di
Majapahit terdapat tiga macam kepercayaan, yaitu Siwa, Budha, dan Waisnawa atau
Brahma, yang disebut Tripaksa. Nagarakretagama pupuh 81 dinyatakan
bahwa Hayam Wuruk mempunyai minat besar untuk tegaknya Tripaksa ini. Maksudnya agar ketiga aliran agama ini dapat hidup
damai dan rukun. Aliran-aliran itu diurus oleh pejabat keagamaan masing-masing.
Pupuh 75 menguraikan bahwa pendeta Siwa diserahi menjaga tempat ziarah dan
pemujaan; pendeta Budha diserahi menjaga segala asrama dan biara Budha; menteri her haji diserahi penjagaan
asrama para resi dan melindungi para pendeta Brahma. Agar beberapa aliran agama
tersebut tidak saling bertengkar, diadakan pembagian daerah secara nyata pada
pupuh 16. Agama Siwa boleh ditegakkan dimanapun daerah, agama Budha hanya boleh
disiarkan di kerajaan bagian timur. Kedua-duanya dapat sambutan baik dari
rakyat dan dapat hidup rukun.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh raja
Majapahit tersebut juga diikuti oleh tindakan nyata, antara lain dapat dilihat
bahwa para pembesar keagamaan tidak berani untuk menolak atau melanggar aturan
yang telah ditetapkan. Pemerintah, dalam hal ini adalah Raja Hayam Wuruk juga
memberi perhatian pada perbaikan segala bangunan keagamaan yang telah rusak.
Pada pupuh 73 Nagarakretagama dijelaskan
tentang pembangunan kembali/renovasi bangunan candi makam di Kagenengan yang bercororak Siwaistis.
Pupuh 56 menjelaskan tentang candi makam raja Kertanegara bernama Candi Jawi
yang dilukiskan sebagai candi makam yang sangat megah.
Nagarakretagama juga
menjelaskan aktivitas keagamaan raja. Pada pupuh 63-67 diuraikan mengenai
upacara selamatan atau Srada (bahasa
Jawa: nyadran) untuk memperingati
wafatnya Rajapatni yang merupakan nenek dari Raja Hayam Wuruk. Upacara suci Srada diadakan pada tahun 1284 S atau
1362 M. Upacara tersebut dijelaskan oleh Prapanca secara terperinci, sehingga
kita dapat mengetahui atau membandingkan pelaksanaan upacara keagamaan pada
masa lalu.
Menurut Bernard H.M. Vlekke,
kemunduran Majapahit dalam segala hal mulai terlihat setelah meninggalnya raja
Hayam Wuruk tahun 1389. Suatu periode panjang kekacauan politik segara terjadi.
Daerah-daerah di peseisir utara pulau Jawa banyak yang dipimpin oleh penguasa
Islam. Cirebon, Demak, Jepara, Gresik, Tuban
dan Surabaya, penguasanya menganut Islam. Dalam beberapa hal mereka
bersifat otonom. Perseteruan umum terjadi diantara banyak penguasa setempat,
namun hampir tidak ada bukti ekspansi militer Islam lewat peperangan di Jawa
Bagian Timur pada periode awal abad ke-15. Penguasa pusat Majapahit telah
mengalami kelemahan, sehingga raja-raja lokal kebanyakan yang berada di daerah
pesisir banyak yang berusaha untuk melepaskan diri dari majapahit.
Islam mengalami penyesuaian ketika
berhadapan dengan budaya setempat yang lebih dahulu berkembang. Islam tidak
menimbulkan gelombang perubahan yang drastis pada kehidupan masyarakat. Hal
seperti diatas dapat ditelusuri dari keberadaan makam-makam Islam tertua di
Jawa yang dihiasi dengan simbol-simbol Siwaistis dan prasasti berbahasa Arab.
Budaya dalam masyarakat Jawa tetaplah bercorak Hindu-Budha meskipun dikatakan
banyak elit-elit dan masyarakat yang telah tunduk pada kekuatan Islam di Demak
dan seterusnya, sampai kurun waktu yang agak lama.
Pada era awal abad ke-20, menurut
Denys Lombart (Nusa Jawa Silang Budaya 3;
2005), muncul beberapa aliran keagamaan atau kepercayaan pada masyarakat
Indonesia, disamping keberadaan agama-agama “resmi” yang telah berkembang mapan
di Tanah air. Mereka tergabung dalam sebuah paguyuban yang sering dinamakan
aliran kebatinan atau kejawen,
jumlahnya banyak yang polanya seperti sekte-sekte Protestan. Komunitas tersebut
dipimpin oleh seorang guru kharismatik dan dinaungi oleh kenyamanan suatu
komunitas, mereka menemukan jalan pengembangan batin dan memperdalam
pengendalian diri. Diantara kelompok-kelompok aliran tersebut banyak yang
bersifat konservatif, mencari format keserasian hidup dan ada pula yang
mengarah ke protes sosial. Karena itu, perkembangan kelompok-kelompok kebatinan
itu diawasi dari dekat oleh aparat negara maupun wakil-wakil kelompok keagamaan
yang kecenderungannya mencap mereka sebagai kelompok sesat atau ilmu klenik.
Beberapa aliran keagamaan atau
kepercayaan, dapat kita lihat bahkan sampai saat ini. Di daerah Cirebon,
sekitar tahun 1920 lahirlah paguyuban Ngelmu
Sejati, dipimpin oleh Haji Burhan, seorang santri asal Banten. Tidak lama
kemudian giliran seorang bernama Madrais, seorang anak pangeran Cirebon dari
garis selir, menyebarkan apa yang dinamakan Ngelmu
Cirebon. Aliran ini kemudian menarik sejumlah pengikut lama Haji Burhan.
Madrais menetap disebuah desa kecil di sekitar Kuningan Jawa Barat. Selain di
Cirebon, di Batavia dan Semarang berkembang Perkumpulan
Kemanusiaan, berdiri tahun 1934 oleh pemimpinnya Yudoprayitno. Perkumpulan
ini lebih banyak bergerak dikalangan intelektual kota, bahkan orang Cina. Di
Jawa Tengah dan Yogyakarta muncul dua aliran kebatinan; Paguyuban Sumarah oleh dr. Sutono Projohusodo dan Ngelmu Begja oleh Pangeran Suryomentaram
pada sekitar tahun 1935. Di Jawa Timur muncul perkumpulan Buda Wisnu tahun 1925 oleh Resi Kusumadewa di Malang, Perkumpulan Ilmu Sejati tahun 1926 di
Madiun oleh Raden Sujono, Agama Suci
atau Agama Akhir Zaman di Jember
tahun 1935 oleh seorang pemilik toko kecil bernama Mohamad Sakri yang kemudian
dipanggil Ki Amat.
Menjamurnya gerakan atau perkumpulan
kebatinan berlanjut setelah kemerdekaan dan masih banyak yang bermunculan
sesudah itu, seperti Agama Djawa Asli
Indonesia (ADARI) tahun 1946. Agama Yakin Pancasila di Bandung tahun 1948, “Perkumpulan untuk Membuka Sembilan Lubang
Tubuh” di Ponorogo tahun 1956 oleh Ny. Harjosentono, yang rupanya berkaitan
dengan olah batin dan fisik untuk pengobatan atau mirip dengan Yoga. Ada lagi Aliran kerohanian Sapta Dharma (Tujuh
Kewajiban) oleh seorang dari Pare, Kediri bernama Mbah Hardjosepuro dan
berkembang di Yogyakarta tahun 1956.
Dua perkumpulan yang paling terkenal
adalah yang pertama, Pangestu (Paguyuban
Ngesti Tunggal) atau “Kelompok Pemikiran Tunggal” yang berdiri di Surakarta
tahun 1949 oleh seorang kapten intendan pensiunan bernama R. Sunarto. Yang
kedua, Subud (Susila Budhi Dharma
atau “Kewajiban Keakhlakan dan Kebijaksanaan” yang didirikan di Yogyakarta
tahun 1947 oleh seorang Akuntan bernama Muhammad Subuh. Ajaran Sinkretis
Pangesu sungguh-sungguh tergarap dan menyebar ke seluruh Jawa bahkan Indonesia.
Adapun Subud, sekalipun kurang
berkembang di Jawa, namun berhasil menarik perhatian “internasional” dan di kenal
sampai di Amerika dan Eropa. Tahun 1957, Muhammad Subuh pergi ke Inggris dan
menyembuhkan orang-orang sakit disana. Sejak saat itu banyak keluarga dari
Barat yang datang dan menetap di dekat sang guru tersebut, bahkan ada suatu
asrama di pinggiran Jakarta yang di buka khusus untuk menampung mereka.
(Lombart. Nusa Jawa Silang Budaya 3).
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang
beragama. Pernyataan tersebut bahkan tertuang dalam konstitusi kita, UUD 1945.
Tidak ada salah satu agamapun yang dijadikan agama resmi negara, karena itu
kurang tepat dan bijak jika menganggap bahwa Islam sebagai agama mayoritas di
Indonesia ditempatkan sebagai agama resmi negara. Pada Era Presiden Gus Dur
bahkan diakui Konghucu sebagai bagian dari agama yang sah di Indonesia. Pada tanggal 17 Januari tahun 2000,
Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Kepres No. 6/2000 yang berisi pencabutan
Instruksi Presiden No.14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat
Cina. Kemudian dilanjutkan dengan Keputusan Menteri Agama No.13/2001 yang
menetapkan Imlek sebagai libur fakultatif dan diteruskan dengan pencabutan
larangan penggunaan bahasa Tionghoa baik lisan maupun tulisan. Kenyataan sejarah bahwa Gus Dur, adalah seorang demokrat
yang percaya akan adanya kemajemukan di dalam masyarakat dan bangsa Indonesia.
Ia juga telah membuktikan dirinya sebagai pengayom kelompok minoritas yang
selama tiga puluh dua tahun secara politik sangat lemah dan dimarjinalkan.
Ketika menghadiri perayaan
Imlek yang diselenggarakan MATAKIN pada tanggal 17 Februari 2002, Presiden
Megawati Soekarnoputeri mengumumkan mulai tahun 2003 Imlek sebagai hari raya
etnis Tionghoa menjadi hari Nasional. Konsekuensi Imlek sebagai hari Nasional
tentunya menjadi hari libur nasional, bukan fakultatif.
Dengan dikeluarkannya Keppres
Abdurrahman Wahid dan Keputusan Menteri Agama serta pernyataan Presiden
Megawati tersebut, etnis Tionghoa merasa telah bebas dari "penjara"
yang selama ini mengurungnya. Dalam waktu singkat ratusan perkumpulan
barongsai, liong, wu shu dsbnya bermunculan di kota-kota di seluruh Indonesia.
Puluhan surat kabar dan majalah serta ratusan kursus bahasa Tionghoa bermunculan
bagaikan cendawan sehabis hujan. Malahan Metro TV setiap hari menayangkan acara
khusus dalam bahasa Tionghoa. Demikian juga ada stasion radio komersial yang
secara khusus menyiarkan acara dalam bahasa Tionghoa. Ratusan yayasan-yayasan
Tionghoa totok, baik yang berdasarkan suku, asal daerah, marga, alumni sekolah
dsbnya turut bermunculan. Tahun baru Imlek dirayakan secara terbuka dan meriah,
demikian juga perayaan-perayaan tradisi dan agama/kepercayaan Tionghoa lainnya
seperti Capgomeh, Pehcun dan Tongciu. (Benny G.Setiono. Etnis
Tionghoa adalah bagian Integral Bangsa Indonesia; Disampaikan
pada Diskusi Akbar yang diselenggarakan Perhimpunan INTI Jakarta pada tanggal
27 April 2002, bertempat di Hotel Mercure Rekso, Jakarta.)
Namun menjadi keprihatinan bersama
ketika melihat adanya kecenderungan untuk memaksakan agama dan aliran agama
tertentu yang boleh berkembang di Indonesia. Beberapa aliran agama dan
kepercayaan tertentu yang muncul di Indonesia, seringkali dianggap sebagai
ancaman terhadap eksistensi agama-agama yang telah mapan. Kehidupan beragama
dan juga meyakini kepercayaan yang dianut dan menjadi hak setiap individu di
Indonesia seringkali menjadi benih konflik dalam masyarakat. Hal ini terjadi
ketika pemahaman tentang kebebasan beragama, harmonisasi dan toleransi beragama
dan berkeyakinan belum dipahami secara benar oleh masyarakat.
Upaya saling mendekat dan saling
mengenal antar pemeluk agama, seperti yang dikemukakan oleh Djohan Effendi (Sang Pelintas Batas; Biografi Djohan Effendi.
20009; 171), menarik untuk dicermati dan diamalkan. Setiap pemeluk agama
pasti meyakini bahwa agama yang mereka anut adalah yang paling benar, namun
mengajak umat agama lain untuk harus mempercayai keyakinan yang kita miliki
merupakan sesuatu yang tidak elok, apalagi jika dilakukan dengan pemaksaan dan
kekerasan.
Teologi Inklusifisme mendorong umat
beragama untuk memeriksa kembali paham keselamatan yang dianut masing-masing
agama. Setiap agama berhak mengklaim keselamatan dan kebenaran bagi dirinya,
tapi pada saat bersamaan ia tidak berhak untuk untuk menyatakan bahwa pemeluk
agama lain tidak selamat alias masuk neraka. Manusia tidak patut merampas
wewenang Tuhan. Teologi Inklusif bekerja dalam kesadaran menghargai
pilihan-pilihan orang lain yang berbeda dengan cara yang tulus.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Kemajemukan dalam kehidupan beragama
adalah sebuah keniscayaan. Beberapa agama besar telah berkembang di
Indonesia dan menjadi agama “resmi” yang diakui oleh negara, bisa disebut
antara lain agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Ketika menjadi
presiden RI, Gus Dur melangkah lebih lanjut untuk mengakui dan memberi
keleluasaan agama Konghucu untuk berkembang di Indonesia, sesuatu yang selama
ini terasa sulit terjadi pada masa Orde Baru.
Pengakuan negara terhadap agama yang
berkembang di Indonesia sebenarnya telah tertuang dan diaukui dalam konstitusi
UUD 1945. Hal itu berarti permasalahan tentang agama dan kepercayaan di
Indonesia seharusnya sudah jelas, bahwa negara mengakui keberadaan semua agama
dan kepercayaan. Permasalahan muncul ketika terjadi silang pendapat dan
perbedaan penafsiran terhadap kehidupan beragama. Konflik yang muncul bisa
terjadi dalam tataran internal suatu agama, dalam hal ini adanya aliran-aliran
dalam suatu agama yang satu sama lain saling bertentangan. Konflik jenis
pertama tersebut dapat dilihat, misalkan pada aksi penyerangan dan kekerasan
terhadap Jemaah Ahmadiyah akhir-akhir ini, konflik antar ormas Islam yang
terjadi beberapa waktu yang lalu juga bisa dikategorikan adanya benturan
penafsiran secara internal dalam suatu agama.
Pertentangan dalam kehidupan beragama
juga bisa muncul antara suatu agama dengan agama lain. Pemahaman yang fanatik
terhadap agamanya masing-masing dan melihat dengan kacamata permusuhan terhadap
agama lain berpotensi memantik konflik antar umat beragama. Potensi konflik
tersebut akan semakin akut jika ditambahi dengan permasalahan diluar kehidupan
agama, misalkan karena masalah ekonomi, budaya, kepentingan dan politik. Kita
tidak bisa melupakan terjadinya konflik antar umat beragama di beberapa tempat
di Indonesia, seperti peristiwa di Maluku, Poso Sulawesi, dan baru-baru ini di
Lampung antara agama Islam dan penganut Hindu keturunan Bali.
Kehidupan beragama pada zaman
Majapahit, kiranya dapat diteladani oleh masyarakat sekarang ini. Kehidupan
beragama yang majemuk pada zaman Majapahit, nyatanya tidak menyebabkan konflik
fatal antar umat beragama. Negara Majapahit bahkan telah membuat kebijaksanaan
yang mengatur bagaimana kehidupan beragama dalam masyarakat. Pemerintah Raja
Hayam Wuruk juga mendirikan lembaga atau pejabat yang bertugas mengatur dan
mengayomi kehidupan beragama. Maka diangkat pejabat Dharmadhyaksa yang bertugas
memutuskan, mengatur dan mengayomi keadilan khususnya dalam bidang keagamaan.
Ada dua macam pejabat Dharmadhyaksa, yaitu Dharmadhyaksa
ring Kasogatan dan Kasaiwan.
Pada zaman Majapahit, terdapat lebih
dari satu agama yang diakui dan dijalankan oleh masyarakat, ada agama Hindu
Siwa, Waisnawa, Brahma, Budha, Aliran Siwa-Budha (sinkritisme), kepercayaan
lama sejenis Animisme dan Dinamisme, bahkan diperkirakan sejak pertengahan
akhir abad ke-14 sudah ada komunitas Islam. Sejauh itu tidak pernah terjadi
konflik hebat antar pemeluk agama tersebut, Bahkan keberadaan makam Islam
Troloyo di sekitar Trowulan, pusat kerajaan Majapahit, menjadi bukti bahwa
kerajaan tidaklah ‘alergi’ terhadap perbedaan dalam bidang keagamaan. Beberapa
Sejarawan, seperti Prof. Slamet Muljana, bahkan pernah mengajukan teori yang
cukup kontroversial, bahwa beberapa nama Wali Songo penyebar agama Islam di
Jawa adalah keturunan Cina, lengkap dengan nama-nama Tionghoa-nya. Meskipun
perlu perbandingan dengan sumber-sumber sejarah lain khususnya dari Cina, Teori
Slamet Muljana tersebut kiranya dapat memperkaya referensi tentang kehidupan
beragama masyarakat pada periode akhir kerajaan Majapahit.
Menjadi tanggungjawab kita bersama untuk
menghadirkan kembali nilai-nilai kesejarahan termasuk nilai harmonisasi dalam
suasana kemajemukan beragama dalam konteks kekinian. Majapahit memperlihatkan sebuah tauladan bahwa
kemajemukan atau pluralitas dalam kehidupan beragama dapat diwujudkan. Kuncinya
adalah bagaimana masyarakat dapat saling memahami adanya kemajemuan dan
berusaha mengembangkan sikap toleransi antar umat beragama.
B. SARAN
Kami memberikan beberapa saran
berkaitan dengan aspek kesejarahan dalam upaya merintis harmonisasi umat
beragama, yaitu;
DAFTAR
PUSTAKA
Aris Munandar, Agus. 2008. Ibukota Majapahit, Masa Kejayaan dan
Pencapaian. Jakarta: Komunitas Bambu.
Lombard, Denys. 2005 (cet. ke-3). Nusa Jawa Silang Budaya, Warisan
Kerajaan-Kerajaan Konsentris. Jakarta: Pustaka PT. Gramedia Pustaka Utama.
Gaus, Ahmad. 2009. Sang Pelintas Batas; Biografi Djohan
Effendi. Jakarta: ICRP dan Kompas.
Mulyana, Slamet. 2007. Menuju Puncak Kemegahan (Sejarah Kerajaan
Majapahit). Yogyakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara.
________ 2006. Tafsir
Sejarah Nagarakretagama. Yogyakarta: PT. LKIS Pelangi Aksara.
________ 2008. Runtuhnya
Kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Yogyakarta:
PT. LKIS Pelangi Aksara.
Vlekke, Bernard. 2008. Nusantara Sejarah Indonesia. Jakarta:
KPG dan Freedom Institute.
Setiono, Benny G. Etnis Tionghoa adalah bagian
Integral Bangsa Indonesia; Disampaikan pada Diskusi Akbar yang diselenggarakan Perhimpunan INTI
Jakarta pada tanggal 27 April 2002, bertempat di Hotel Mercure Rekso, Jakarta.)
Media / Koran Kompas, edisi Jumat 1 Maret 2013.
http:// www.sapta-darma.blogspot.com (13
Maret 2013)
Wawancara:
1. Ketut Sedana dan Putu Mas (Pemangku Pura Agung
Jagad Karana)
2. Bpk Tiong (Pengurus Klentheng Hong Tiek Hian,
Surabaya
3. Bpk Zeid Muhammad (Pengurus masjid Ampel)
| |||||