Kamis, 14 Februari 2013

NAGARAKERTAGAMA, ATLANTIS DAN EDEN
Analisa Geologi Teks Naskah Nagarakertagama
Pupuh 15 bait ke 2
Created by Ejang Hadian Ridwan

I. Pendahuluan
Penulis menggambil tema ini, berdasarkan teks Nagarakertagama yang mengungkapkan perkiraan data geologi tentang adanya informasi perubahan geografis dan geologis antara pulau Jawa dan Madura akibat perubahan ketinggian air laut, dan mengapa pula dilihat sepintas dari judul yang diberikan seolah-olah bahwa informasi dari pernyataan teks Nagarakertagama ini mendukung kedua buku tersebut. Bisa ya bisa tidak, bisa juga menggagalkan tulisan tentang Altlantis dan Eden. Yang dimaksud Atlantis dan Eden dalam ini adalah menunjuk kepada buku yang berjudul Atlantis The Lost Continent Finally Found karya Prof Arsyio Santos dan Eden In The East karya Stephen Oppenheimer. Dalam artikel ini juga akhirnya membahas tentang hipotesa sejarah nusantara yang hilang di abad awal masehi, disertai dengan pendapat dari ahli geologi terkemuka di Indonesia yaitu Awang Harun Satyana, Artikel ini disertai cara perhitungan tahun saka dengan metoda candra sengkala, termasuk aturan pembacaanya.
Artikel ini bukan merupakan kajian keseluruhan dari kedua buku tersebut yang dibandingkan dengan informasi dari teks nagarakertagama, tetapi hanya mengambil bagian-bagian tertentu, yang mempunyai kemiripan ide dan bahasan dari sebuah peristiwa geologi. Pengajuan topik ini tentunya didasarkan bahwa tesk naskah Nagarakertagama mampu memberikan dan mengukapkan informasi perkiraan data geologi yang disertai penandaan waktu yang tegas, angka kisaran tahun, walaupun memang harus disertai tafsiran dan penjelasan lebih menyeluruh dari berbagai sumber lainya yaitu mengenai penandaan waktu yang begitu jelas disampaikan dalam teks naskah tersebut.

II Latar Belakang

Tentang naskah Nagarakertagama silakan baca di wikipedia online, tentang Atlantis silakan baca juga bukunya yang sudah beredar yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia atau bisa juga dilihat secara online internet di www.atlan.org dan tentang Eden bukunya sudah tersedia juga, kedua ide buku itu ringkasannya bisa dicari secara online internet karena keberadaannya sedang menjadi pembicaraan yang hangat diberbagai media.
Naskah Nagarakertagama memberikan petunjuk dalam pupuh ke 15 bait 2, sebagai berikut:
“kunaɳ tekaɳ nusa madura tatan ilwiɳ parapuri, ri denyan tungal / mwaɳ yawadarani rakwaikana danu, samudra nanguɳ bhumi kta ça ka kalanya karnö, teweknyan dadyapantara sasiki tatwanya tan adoh.”
Dan pernyataan teks ini sangat sejalan dengan apa yang disampaikan oleh buku Atlantis dan Eden, analisa teks akan dibahas dalam materi selanjutnya diartikel ini.
Sekilas tentang buku Atlantis dan Eden, kedua buku  ini memberikan gambaran jelas tentang mitos Surga di Timur, Surga Atlantis (Atlanti English Lamuria sam dengan Eden, merupakan kata lain dari Atlantis itu sendiri) dan tentang Surga di Timur ini pertama kali disampaikan oleh Plato. Plato dalam bahasa Yunani: Πλάτων, lahir sekitar 427 SM dan meninggal sekitar 347 SM adalah seorang filsuf dan matematikawan Yunani, dan pendiri dari Akademi Platonik di Athena, yang salah satu anak didiknya yaitu Socrates, dengan memberikan gambaran atau petunjuk bahwa telah terjadi suatu masa peradaban tinggi di muka bumi ini, yang ditandai dengan adanya ke kaisaran agung yang mendunia.
Masa itu hilang karena adanya perubahan geologi dari muka bumi. Plato menjelaskan ciri-ciri dengan rinci mulai dari keadaan alam, flora dan faunanya serta ciri geografis dominan dari Surga Atlantis tersebut, dengan kuil-kuil atau istananya terbentuk dari emas. Berdasarkan apa yang disampaikan Plato inilah maka dimulai pula penelusuran dan pencarian jejak tentang mitos surga Atlantis tersebut. Para petualang meneyebar ke seantero jagat dengan misi dasar menemukan mitos tentang Surga di Timur tersebut. Salah satu efek tidak langsung adalah munculnya bangsa-bangsa barat yang menjajah di Indonesia dan negara-negara lainya, misalnya penjajahan oleh Portugis, Inggris dan Belanda.
Berbagai kajian dan penelitian tentang mitos Surga di Timur itu sungguh beraneka ragam, tempat yang ditunjukannya pun berbeda-beda. Semua dilakukan dengan berbagai metoda, dan semuanya pula mengaku yang paling ilmiah tentunya berdasarkan bukti-bukti yang ajukan, dan tentunya pula pasti ada bantahan dan sanggahan dari ilmuwan lainnya. Buku yang disebutkan diatas merupakan kajian dan penelitian yang bisa dianggap paling mutahir, saat ini tentang Surga Atlantis.
Kedua buku ini mempunyai metoda yang berbeda dalam pembahasanya, tetapi kedua buku ini pula menunjuk suatu posisi yang hampir serupa. Buku Atlantis yang dikarang Prof Arsyio secara gamblang dan tegas menyatakan bahwa Surga Atlantis itu adanya tepat di Indonesia, lebih spesifik yaitu di laut Jawa yang kearah utaranya berbatasan dengan Laut China Selatan dan tentunya daratan China Selatan sekarang, dengan mengatakan bahwa laut Jawa dulunya merupakan daratan yang maha luas, termasuk katagori sangat langka dijumpai dimuka bumi ini daratan seluas itu, sedangkan pulau-pulau yang mengelilinginya merupakan dataran tinggi pada masa itu (Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Semenanjung Malayu, dan yang lainnya, pulau besar Indonesia masa kini). Sedangkan buku Eden in The East menujuk bahwa Surga Atlantis adanya di Asia bagian tenggara dan tidak secara tegas menunjuk Indonesia.

Kedua pengarang buku tersebut mengajukan berbagai data, mulai data geologis, geografis dan  dan sosial budaya serta peninggalan sejarah (artefak). Prof Arsyio lebih fokus di Filologi dan Linguistik dengan memakai sumber-sumber mitos di berbagai belahan dunia dan dari berbagai agama, sedangkan Oppenheimer lebih fokus dengan penelitian arkeologi, bukti artefak, tentunya walaupun masing-masing mengandalkan metode-metoda yang menurut mereka paling akurat tetap saja semua yang menjadikan fokus penelitian, tentu harus komperehensif dengan semua sumber dan metode lain yang mendukungnya.

Dan satu hal lagi, kedua buku sepakat bahwa kejadian itu terjadi ketika jaman terakhir es mencair yang ada dipermukaan bumi, era pleistosin, yang disebabkan oleh sebuah ledakan maha dasyat “a super colossal eruption” dari peristiwa vulkanik Gunung Krakatau, sehingga terjadilah akhir jaman es mencair, dan permukaan air laut menjadi pasang, melenyapkan dataran-dataran rendah. Pertistiwa lenyapnya daratan di laut Jawa sekarang dipancing dengan adanya kubangan maha besar (kaldera raksasa) diselat Sunda, efek kejadian vulkanik Gunung Krarakatu tersebut, akhirnya air masuk dari samudera Hindia dan menenggelamkan Surga Atlantis, diperkirakan oleh mereka yaitu kejadiannya sekitar 11.600 SM.

Bagi penulis, apapun mengenai berbagai bahasan kedua buku itu atau dari berbagai pihak, yang pasti berdasarkan data-data yang mereka sampaikan, bila ditarik kebelakang tentunya dan diasumsikan bahwa permukaan air di laut Jawa (laut antara pulau Jawa, Kalimantan dan Sumatera) menurun drastis hingga kisaran 150-200 meter (silakan baca tentang cara mengukur kedalaman laut), kasarannya dikuras habis sampai kedalaman tersebut, maka akan didapati dataran seluas kira-kira 400 x 600 km persegi bahkan lebih, dan ini memang daratan maha luas, hampir 3 kali luas pulau jawa sekarang.

Tentang kedalaman laut Jawa silakan baca di laporan Bakosurtanal, atau hasil pengamatan citra satelit laut Jawa yang menunjukan sebagian besar laut Jawa kedalamanya pada kisaran tersebut, yaitu 150-200 meter, walaupun memang ada juga palung-palung dalam yang merupakan hasil pertemuan lempeng-lempeng benua dengan kedalaman ribuan meter. Terdapat 4 (empat) sungai purba juga didaratan itu, dipermukaan dasar laut Jawa, yang diambil sebagai sebagai bukti refensi ilmiah tentang salah satu ciri Atlantis yang disampaikan Plato, dan itulah dalam berbagai mitos keagamaan sungai-sungai Surga dan Surganya Atlantis yang dimaksud, keempat sungai itu bersumber dari gunun Dempo Sumatera Selatan.

NAGARAKERTAGAMA, ATLANTIS DAN EDEN

III. Bahan Materi Yang Diajukan.

Materi yang diajukan dalam artikel ini yaitu pokok bahasan tentang terjemahan dan tafsiran tesk naskah Nagarakertagama, yang teks naskah tersebut sudah disebutkan diatas, berikut terjemahan dari dari teks naskah Nagarakertagama pupuh 15 bait 2 tersebut: 
1. Tafsir dan terjemahan Menurut Prof. Dr Slamet Mulyana dari buku “Nagarakertagama dan Tafsir Sejarahnya”, sebagai berikut:
“Tentang pulau Madura, tidak dipandang negara asing, Karena sejak dahulu dengan Jawa menjadi satu, Konon tahun Saka lautan menantang bumi, itu saat, Jawa dan Madura terpisah meskipun tidak sangat jauh.”
2. Tafsir dan terjemahan menurut Theodor Pigeaud, dari buku “14Java in the 14th Century. A Study in Cultural History”, 5 vols Pigeaud 1, pp. 11-13, Pigeaud 3, pp. 16-19 “, sebagai berikut:
“Concerning now this island of Madura, this is not at all of the same aspect as the foreign kingdoms, because of the fact that it has been one with the Yawa-country, so it is said, at that time in the past: "The oceans carry a country" (124 = 202 A.D.), such is their Shaka-year, one hears, their moment to become provided with an interstice; (nevertheless) they are one in essence, not far away (from each other).”
Penandaan tahun yang terdapat dalam pupuh 15 bait 2 naskah Nagarakertagama hasil terjemahan dari teks aslinya bahasa Kawi -Jawa Kuno yaitu “samudra nanguɳ bhumi” oleh Prof Slamet Mulyana diterjemahkan menjadi “tahun Saka lautan menantang bumi” dan oleh Theodor Pigeaud” The oceans carry a country" (124 = 202 A.D.), such is their Shaka-year”,terdapat penandaan tahun yang jelas yaitu tahun saka 124 atau sama dengan 202 Masehi.

Tentang Prof. Dr. Raden Benedictus Slamet Muljana atau Prof Dr Slamet Mulyana (lahir di Yogyakarta, 21 Maret 1929 – meninggal di Jakarta, 2 Juni 1986 pada umur 57 tahun), adalah seorang filolog dan sejarawan dari Indonesia, memperoleh gelar B.A. dari Universitas Gadjah Mada tahun 1950, gelar M.A. dari Universitas Indonesia tahun 1952, gelar Doktor Sejarah dan Filologi dari Universitas Louvain, Belgia, tahun 1954, serta menjadi profesor pada Universitas Indonesia sejak tahun 1958.
Tentang Dr. Theodoor Gautier Thomas Pigeaud atau Theodor Pigeaud (Leipzig, 20 Februari 1899–Gouda, 6 Maret 1988) adalah seorang ahli Sastra Jawa dari Belanda. Ia terutama menjadi termasyhur berkat kamus Jawa-Belandanya (1938) yang dijadikan dasar oleh W.J.S. Poerwadarminta sebagai Baoesastra Djawa. Selain itu Pigeaud juga dikenal karena studi monumentalnya mengenai Nagarakretagama dan katalog-katalog naskah manuskrip di perpustakaan di Belanda, Denmark, dan Jerman.

IV. Tentang Penandaan Waktu atau Sistem Kalender Saka
Kalender saka adalah tata perhitungan waktu reguler berupa kalender yang berasal dari India, yang merupakan sebuah penanggalan candra – surya atau disebut juga kalender luni – solar yang dimulai perhitungannya ketika 78 tahun dari perhitungan tahun masehi. Dasar perhitungan ini ditandai ketika kota Ujjayini (Malwa di India sekarang) direbut oleh kaum Saka (Scythia) dibawah pimpinan Maharaja Kaniska dari tangan kaum Satavahana. Tahun barunya terjadi pada saat Minasamkranti (matahari pada rasi bintang pices) yang menandai awal musim semi, dan nama-nama bulan pada penanggalan atau hitungan tahun saka yang lainya didasarkan pada perubahan musim, nerikut nama-nama bulan dalam tahun saka: Caitra, Waisaka, Jyestha, Asadha, Srawana, Bhadrawada, Aswina (Asuji), Kartika, Margasira, Posya, Magha, Phalguna. Agar sesuai dengan peredaran matahari bulan Asadha dan Srawana diulang secara bergiliran setiap  tiga tahun dengan Dwitiya Asadha dan Dwitiya Srawana. Silakan unutk keterangan lebih lanjut di Wikipedia Online tentang Kalender Saka.
Metoda pembacaan tahun saka disebut candra sengkala atau hanya disebut sengkala saja, mempunyai arti kurang lebih adalah kata-kata yang memiliki arti berupa angka, yang digunakan oleh orang Jawa kuno untuk memberikan nama pada sebuah bangunan, upacara, kejadian atau masa atau tahun dan lain sebagainya, dalam hitungan angka tahun saka.
Cara pembacaan selalu terbalik, artinya dibaca terbalik dari urutan penulisan misalnya : “Dewo Ngasto Manggalaning Ratu”  yang ditafsirkan atau diterjemahkan menjadi “Dewa minitis kebumi menjadi raja”, Dewo = 9, Ngasto = 2, Manggalaning = 8, Ratu = 1, susunan penulisan 9281, tapi dibaca menjadi angka tahun saka 1829.
Sifat dari pembacaan tahun saka ini lebih kearah penafsiran, terdapat beberapa pengelompokan kata yang ditafsirkan dan diterjemahkan menjadi simbol dari angka-angka saka, sebagai berikut misalnya:
  1. Angka 1 (satu) didapat bagi kata-kata yang mengandung simbol, yaitu : Ratu, Raja, Tuhan, bumi, orang, lelaki, perempuan, anak, benih, daun, eka , tunggal,  sendiri, satu,  matahari, rembulan dst (dan seterusnya). Atau kata-kata yang mempunyai sifat yang sama seperti bintang dianggap punya sifat yang sama dengan matahari.
  2. Angka 2 (dua) didapat bagi kata-kata yang mengandung simbol, yaitu : mata, telinga, tangan, kaki, sejodoh, penganten, teman, seiring, dwi, dua, pandangan, dst. Atau kata-kata yang mempunyai sifat atau hampir mirip dengan contoh diatas misal sejodoh, dua atau dwi sama dengan sepasang.
  3. Angka 3 (tiga) didapat bagi kata-kata yang mengandung simbol, yaitu : Api, Pandai, panas, asap, terbakar,berkobar, cerdas, guna, laksana, bagai, dst. Atau kata-kata yang mempunyai sifat yang sama atau hampir mirip dengan contoh diatas misal cerdas sama dengan pintar.
  4. Angka 4 (empat) didapat bagi kata-kata yang mengandung simbol, yaitu : air, samudra, laut, sungai, catur, dadi, kiblat, rawa, mata angin, dst. Atau kata-kata yang mempunyai sifat yang sama atau hampir mirip dari contoh diatas misal danau, ngarai..
  5. Angka 5 (lima) didapat bagi kata-kata yang mengandung simbol, yaitu: Raksasa, buta, angin, senjata tajam, galak, buas, dst. Atau kata-kata yang mempunyai sifat yang sama atau hampir mirip dari contoh diatas misal buas sama dengan jahat.
  6. Angka 6 (enam) didapat bagi kata-kata yang mengandung simbol, yaitu: rasa, cinta, suka, marah, senang, sedih, manis, asmara, kayu, gelondongan, pohon, wayang, dst. Atau kata-kata yang mempunyai sifat yang sama atau hampir mirip dari contoh diatas misal marah sma dengan murka.
  7. Angka 7 (tujuh) didapat bagi kata-kata yang mengandung simbol, yaitu: pendeta, guru, ustadz, ulama, sayuti, biksu, ukang ceramah, kendaraan, dst. Atau kata-kata yang mempunyai sifat yang sama atau hampir mirip dari contoh diatas misal kuda, pesawat, mobil.
  8. Angka 8 (delapan) didapat bagi kata-kata yang mengandung simbol, yaitu: naga, ular, kadal, buaya, gajah, mandala, komodo, cicak, dst. Atau kata-kata yang mempunyai sifat yang sama atau hampir mirip dari contoh diatas misal binatang merayap atau bergerak pelan.
  9. Angka 9 (sembilan) didapat bagi kata-kata yang mengandung simbol, yaitu: lubang, bau-bauan, harum, wangi, dewa, singa, sumur, bolong  dst. Atau kata-kata yang mempunyai sifat yang sama atau hampir mirip dari contoh diatas misal bau amis.
  10. Angka 0 (nol) didapat bagi kata-kata yang mengandung simbol, yaitu: Tanpa, nir, bolong, awang-awang, langit, angkasa, anariksa, luhur, tinggi dst. Atau kata-kata yang mempunyai sifat yang sama atau hampir mirip dari contoh diatas misal udara.
Penulis membahasakan seperti bahasa masa kini, karena memang hitungan saka masih dipakai sampai sekarang, seperti halnya di Bali, bahkan hari Nyepi adalah peringatan tahun baru Saka.
Dalam naskah Pararaton ada namanya Raja Bhre Kertabhumi atau Brawijaya V, suka diinisiasi menjadi penandaan waktu keruntuhan kerajaan Majapahit dengan penafsiran Candra Sengkala, yaitu menjadi “Sirna Hilang Kertaing Bhumi” yang penulisan tahun sakanya menjadi 0041, dengan pembacaan terbalik menjadi 1400 tahun saka, setara dengan 1478 Masehi. Nama Raja Bhre Kertabhumi berasal dari Naskah Pararaton, dan kalau penafsirannya demikian terhadap nama Raja Bhre Kertabhumi, tentunya keruntuhan kerajaan Majapahit sudah direncanakan oleh si pengarang Pararaton, atau sebaliknya, penandaan waktu kejatuhan kerajaan Majapahit oleh si pengarang Pararaton menjadi simbolisasi dari nama raja kertabhumi sebagai alias dari Raja Brawijaya V. Sungguh tidak masuk logika kerajaan besar yang banyak terdapat para sastrawan atau punjangganya membiarkan raja pendahulunya memberikan nama, atau sebutan atau gelaran Kertabhumi yang mempunyai tafsiran seperti diatas “Sirna Hilang Kertaing Bhumi”.
Contoh lainnya perhitungan tahun saka, diambil dari naskah nagarakertagama, seperti :
1.      Pintu gunung mendengar indu, tahun saka 1279, pupuh 17 bait 6,
2.      Seekor naga menelan bulan, tahun saka 1281, pupuh 17 bait 7,
3.      Lautan dasa bulan, tahun saka 1104, pupuh 40 bait 1,
4.      Lautan dadu Siwa, tahun saka 1144, pupuh 40 bait 3.
IV. Analisa Bahan Materi yang Diajukan
Penandaan waktu tahun saka dalam pupuh 15 bait ke-2 dalam naskah Nagarakertagama dengan memakai metode hitungan candra sengkala didapat sebagai berikut:
1.      Samudra mempunyai indek atau angka 4, sama artinya dengan laut, atau lautan,
2.      nanguɳ mempunyai indek atau angka 2, sama artinya dengan menantang,
3.      bhumi mempunyai indek atau angka 1, sama artinya dengan bumi, daratan.
Maka hitungan candra sengkalanya menjadi 421, yang kemudian prosedur selanjutnya dilakukan pembacaan terbalik, maka hasilnya menjadi 124 tahun saka atau setara dengan 202 Masehi, dan ini sesuai dengan catatan waktu yang disampaikan Theodor Pigeaud dan dan tafsir dari Prof DR Slamet Mulyana “lautan menatang bumi”.
Dalam Tafsir bait secara keseluruhan, pengarang naskah Nagaraketagama menyampaikan berita bahwa Pulau Madura dan Pulau Jawa dulunya terasa dekat, atau mengarah kebersatu, satu pulau bersama, atau satu daratan atau juga masih terpisah oleh lautan tapi dengan permukaan air laut yang tidak begitu dalam, sehingga jarak antara ke 2 pulau tersebut seolah-olah sangat dekat.
A.    Analisa Masa Lampau Abad 1-5 M Nusantara 
Catatan sejarah nusantara, baru dimulai ketika didapat bukti-bukti sejarah yaitu dengan ditemukannya prasasti di Kutai, Kalimantan Timur. prasasti yang merupakan peninggalan dari Kerajaan Kutai. Terdapat tujuh buah yupa yang memuat prasasti, namun baru 4 yang berhasil dibaca dan diterjemahkan. Prasasti ini menggunakan huruf Pallawa Pra-Nagari dan dalam bahasa Sanskerta, yang diperkirakan dari bentuk dan jenisnya berasal dari sekitar 400 Masehi. Prasasti ini ditulis dalam bentuk puisi anustub, silakan lebih lengkap baca di wikipedia online mengenai catatan sejarah dalam bentuk prasasti tertua di nusantara.
Di Bogor, prasasti ditemukan di Pasir Muara, di tepi sawah, tidak jauh dari prasasti Telapak Gajah peninggalan Purnawarman. Prasasti itu kini tak berada ditempat asalnya, dalam prasasti itu dituliskan sebagai berikut:
"ini sabdakalanda rakryan juru pangambat i kawihaji  panyca pasagi marsan desa barpulihkan haji sunda".
Terjemahannya menurut Bosch, sebagai berikut:
   "Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat dalam tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5) pasagi (4), pemerintahan begara dikembalikan kepada raja Sunda". Karena angka tahunnya bercorak "sangkala" yang mengikuti ketentuan "angka nam vamato gatih" (angka dibaca dari kanan), maka prasasti tersebut dibuat dalam tahun 458 Saka atau 536 Masehi.
  Beberapa ratus meter dari tempat prasasti itu, ditemukan pula dua prasasti lainnya peninggalan Maharaja Purnawarman yang berhuruf Palawa dan berbahasa Sangsekerta. Dalam literatur, kedua prasasti itu disebut Prasasti Ciaruteun dan Prasasti Kebon Kopi (daerah bekas perkebunan kopi milik Jonathan Rig). Prasasti Ciaruteun semula terletak pada aliran (sungai) Ciaruteun (100 meter) dari pertemuan sungai tersebut dengan Cisadane. Tahun 1981 prasasti itu diangkat dan diletakkan dalam cungkup. Prasasti Ciaruteun ditulis dalam bentuk puisi 4 baris, berbunyi:
"vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam".
   Terjemahannya menurut Vogel: "Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara". Prasasti Ciaruteun bergambar sepasang "pandatala" (jejak kaki). Gambar jejak telapak kaki menunjukkan tanda kekuasaan yang berfungsi mirip "tanda tangan" seperti jaman sekarang. Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa daerah itu termasuk kawasan kekuasaannya.
    Lahan tempat prasasti itu ditemukan berbentuk bukit rendah berpermukaan datar dan diapit tiga batang sungai: Cisadane, Cianten dan Ciaruteun. Sampai abad ke-19, tempat itu masih dilaporkan dengan nama Pasir Muara. Dahul termasuk bagian tanah swasta Ciampea, sekarang termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang.
    Prasasti Telapak Gajah bergambar sepasang telapak kaki gajah yang diberi keterangan satu baris berbentuk puisi berbunyi:

"jayavi s halasya tarumendrsaya hastinah  airavatabhasya vibhatidam padadavayam".
(Kedua jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa).
   Menurut mitologi Hindu, Airawata adalah nama gajah tunggangan Batara Indra dewa perang dan penguawa Guntur. Terdapat ukiran bendera dan sepasang lebah, yang ditatahkan secara jelas pada prasasti Ciaruteun yang telah memancing perdebatan mengasyikkan diantara para ahli sejarah mengenai makna dan nilai perlambangannya. Ukiran kepala gajah bermahkota teratai ini oleh para ahli diduga sebagai "huruf ikal" yang masih belum terpecahkan bacaanya sampai sekarang. Demikian pula tentang ukiran sepasang tanda di depan telapak kaki ada yang menduganya sebagai lambang labah-labah, matahari kembar atau kombinasi surya-candra (matahari dan bulan).
    Di daerah Bogor, masih ada satu lagi prasasti lainnya yaitu prasasti batu peninggalan Tarumanagara yang terletak di puncak bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Pada bukit ini mengalir (sungai) Cikasungka. Prasasti inipun berukiran sepasang telapak kaki dan diberi keterangan berbentuk puisi dua baris, penulis belum punya data tentang kapan prasasti itu dibuat, bunyinya sebagai berikut:
"shriman data kertajnyo narapatir - asamo yah pura tarumayam nama shri purnnavarmma pracurarupucara fedyavikyatavammo tasyedam-padavimbadavyam arnagarotsadane nitya-dksham bhaktanam yangdripanam - bhavati sukhahakaram shalyabhutam ripunam".
Terjemahannya menurut Vogel sebagai berikut:
  "Yang termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri Purnawarman yang memerintah Taruma serta baju perisainya tidak dapat ditembus oleh panah musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan (kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi musuh-musuhnya".
   Terlihat jelas bahwa catan sejarah, dimulai mulai abad ke 6 Masehi, dengan pembuatan prasasti menunjukan tahun 536M, artinya kerjaan Tarumanegara dipredikisi kisaran sebelum abad ke 6 tersebut, sebelum itu tidak ada catatan sejarah sedikitpun mengenai peradaban di tatar Sunda, semisal abad ke 1-5 Masehi. Katakanlah naskah Wangsakerta “pustaka Parawatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I, sarga 1” yang mencatat sebelum masa Raja Purnawarman masih terdapat raja-raja sebelumnya yang diawali oleh Jayasingawarman kisaran tahun 358-382 M, dan Dharmayawarman kisaran tahun 382-395 M, artinya lebih lanjut abad ke 1-3 M atau abad sebelum masehi sendiri catatan sejarah kerajaan atau peadaban sunda, bahkan nusantara pada umumnya tidak ada sama sekali. Walau pun naskah Wangsakerta masih menyimpan catatan mengenai masa pada abad 1-3 ini dengan memunculkan kisah Aki Tirem dan kerajaan Salakanagara, tapi dukungan terhadap informasi naskah itu lemah, tidak ada dukungan bukti catatan primer semacam prasasti atau bukti lainnya, dengan demikian untuk sementara masih memakai asumi tidak ada bukti catatan sejarah sebelum abad ke-5 diwilayah tatar sunda khususnya.
     Pertanyaanya, apakah benar tidak ada peraban sama sekali, atau tidak kah ada kelompok bangsa yang yang membentuk sebuah kerajaan atau negara sama sekali pada waktu itu atau katakanlah setingkat kerajaan kecil, yang mempunyai struktur kepemerintahan atau dipimpin oleh sekelompok orang yang berkuasa. Apakah Abad itu, abad sangat primitif sehingga tidak ada catatan sejarah sedikit pun.
     Hal yang patut diingat bahwa Cina sudah mempunyai catatan sejarah 3000 tahun sebelum Masehi, artinya dokumentasi sejarah sudah ada yang merupakan dokumentasi sejarah paling awal dimuka bumi ini. Apakah dengan keberadaan Cina yang sudah membentuk suatu bangsa yang beradab, dengan pendokumentasian sejarah yang sudah terjadi, sama sekali tidak ada hubugan dengan peradaban di Jawa, atau nusantara pada umumnya kisaran pada awal abad masehi? Sungguh pertanyaan yang tidak ada jawaban, soalnya tidak ada catatan sejarah sama sekali, tidak bisa dibuktikan apapun.
     Tapi, setidaknya manusia diberi kelengkapan kecerdasan akal dan pikiran, hal yang sangat mengherankan kalau buku Atlantis dan Eden, terang-terangan menyatakan bahwa di wilayah nusantara sudah terdapat peradaban yang maha tinggi kisaran 11.600 SM, yang disinyalir terdapat kekaisaran agung yang mendunia, lagi melegenda. Asumsikan saja apa yang disampaikan kedua buku itu adalah menuju benar, menunjuk kearah yang ingin dibuktikan tentang keberadaan Atlantis, Surga di timur, tapi pertanyaannya mengapa jejak sejarah itu hanya tercatat ribuan tahun yang silam, bahkan mencapai puluhan ribu tahun yang silam, tetapi mengapa pada kisaran abad awal Masehi tidak ada catatan sejarah, bahkan segaris coretan apapun tidak diketemukan sebagai bukti otentik sejarah pada masa itu? Sekali lagi pertanyaan yang sukar dijawab tentunya, dan sepengetahuan penulis belum pernah ada yang bisa menjawabnya.
    Mudah-mudahan apa yang akan disampaikan penulis kedepan dalam lanjutan bahasan artikel ini menjadi bahan pertimbangan bersama, tentang masa sejarah kelam, dalam arti sesungguhnya, sungguh kelam tidak ada pencerahan sejarah sedikit pun tentang awal-abad masehi di Nusantara, tentunya pencerahan itu harus berasal dari adanya bukti sejarah yang bersifat primer, bukan dari dongeng, mitos atau pun kisah rakyat lainnya. Dalam hal ini penulis mencoba unuk merangkainya, walaupun memang hanya dengan metoda utak atik gathuk.
    Penulis sering membaca artikel yang membahas tentang asal-usul kerajaan Sunda, era sebelum Kerajaan Tarumanegara, termasuk tentang Aki Tirem dan Kerajaan Salakanagara, dan dasar informasi itu dari naskah Wangsakerta, yang menjadi heran penulis, kok nama Tirem tumpang tindih dengan berita naskah negarakertagama dipupuh 14 bait 1 (satu), “tirm” yang diterjemahkan oleh hampir semua ahli yaitu Tirem, dan Tirem atau Tirun atau Kerajaan Tidung, adanya di Kalimantan Timur pada abad ke 14 M, setara dengan kerajaan Majapahit masa kepemerintahan raja Hayam Wuruk.
      Angka 124 tahun saka atau 202 M adalah tahun yang mempunyai prediksi tentang adanya  peristiwa perubahan geografis dan geologi, dan ada beberapa sumber yang mengarahkan penulis untuk mencari informasi mengenai data geologi pada kisaran abad ke 1-5 M, waktu antara yang memberikan peluang yang lebar dari eror penandaan waktu untuk 202 M tersebut.
 

Tidak ada komentar: