NAGARAKERTAGAMA, ATLANTIS DAN EDEN
Analisa Geologi Teks Naskah Nagarakertagama
Pupuh 15 bait ke 2
Created
by Ejang Hadian Ridwan
I. Pendahuluan
Penulis
menggambil tema ini, berdasarkan teks Nagarakertagama yang mengungkapkan
perkiraan data geologi tentang adanya informasi perubahan geografis dan
geologis antara pulau Jawa dan Madura akibat perubahan ketinggian air laut, dan
mengapa pula dilihat sepintas dari judul yang diberikan seolah-olah bahwa
informasi dari pernyataan teks Nagarakertagama ini mendukung kedua buku
tersebut. Bisa ya bisa tidak, bisa juga menggagalkan tulisan tentang Altlantis
dan Eden. Yang dimaksud Atlantis dan Eden dalam ini adalah menunjuk kepada buku
yang berjudul Atlantis The Lost Continent Finally Found karya Prof Arsyio
Santos dan Eden In The East karya Stephen Oppenheimer. Dalam artikel ini
juga akhirnya membahas tentang hipotesa sejarah nusantara yang hilang di abad
awal masehi, disertai dengan pendapat dari ahli geologi terkemuka di Indonesia
yaitu Awang Harun Satyana, Artikel ini disertai cara perhitungan tahun saka
dengan metoda candra sengkala, termasuk aturan pembacaanya.
Artikel
ini bukan merupakan kajian keseluruhan dari kedua buku tersebut yang
dibandingkan dengan informasi dari teks nagarakertagama, tetapi hanya mengambil
bagian-bagian tertentu, yang mempunyai kemiripan ide dan bahasan dari sebuah
peristiwa geologi. Pengajuan topik ini tentunya didasarkan bahwa tesk naskah
Nagarakertagama mampu memberikan dan mengukapkan informasi perkiraan data
geologi yang disertai penandaan waktu yang tegas, angka kisaran tahun, walaupun
memang harus disertai tafsiran dan penjelasan lebih menyeluruh dari berbagai
sumber lainya yaitu mengenai penandaan waktu yang begitu jelas disampaikan
dalam teks naskah tersebut.
II Latar Belakang
Tentang
naskah Nagarakertagama silakan baca di wikipedia online, tentang Atlantis
silakan baca juga bukunya yang sudah beredar yang sudah diterjemahkan kedalam
bahasa Indonesia atau bisa juga dilihat secara online internet di www.atlan.org dan tentang Eden bukunya sudah
tersedia juga, kedua ide buku itu ringkasannya bisa dicari secara online
internet karena keberadaannya sedang menjadi pembicaraan yang hangat diberbagai
media.
Naskah
Nagarakertagama memberikan petunjuk dalam pupuh ke 15 bait 2, sebagai berikut:
“kunaɳ tekaɳ nusa madura tatan ilwiɳ parapuri, ri denyan tungal / mwaɳ yawadarani rakwaikana danu, samudra nanguɳ bhumi kta ça ka kalanya
karnö, teweknyan dadyapantara sasiki tatwanya tan adoh.”
Dan
pernyataan teks ini sangat sejalan dengan apa yang disampaikan oleh buku
Atlantis dan Eden, analisa teks akan dibahas dalam materi selanjutnya diartikel
ini.
Sekilas
tentang buku Atlantis dan Eden, kedua buku ini memberikan gambaran jelas
tentang mitos Surga di Timur, Surga Atlantis (Atlanti English Lamuria sam
dengan Eden, merupakan kata lain dari Atlantis itu sendiri) dan tentang Surga
di Timur ini pertama kali disampaikan oleh Plato. Plato dalam bahasa Yunani: Πλάτων,
lahir sekitar 427 SM dan meninggal sekitar 347 SM adalah seorang filsuf dan
matematikawan Yunani, dan pendiri dari Akademi Platonik di Athena, yang salah
satu anak didiknya yaitu Socrates, dengan memberikan gambaran atau petunjuk
bahwa telah terjadi suatu masa peradaban tinggi di muka bumi ini, yang ditandai
dengan adanya ke kaisaran agung yang mendunia.
Masa
itu hilang karena adanya perubahan geologi dari muka bumi. Plato menjelaskan
ciri-ciri dengan rinci mulai dari keadaan alam, flora dan faunanya serta ciri
geografis dominan dari Surga Atlantis tersebut, dengan kuil-kuil atau istananya
terbentuk dari emas. Berdasarkan apa yang disampaikan Plato inilah maka dimulai
pula penelusuran dan pencarian jejak tentang mitos surga Atlantis tersebut.
Para petualang meneyebar ke seantero jagat dengan misi dasar menemukan mitos
tentang Surga di Timur tersebut. Salah satu efek tidak langsung adalah
munculnya bangsa-bangsa barat yang menjajah di Indonesia dan negara-negara
lainya, misalnya penjajahan oleh Portugis, Inggris dan Belanda.
Berbagai
kajian dan penelitian tentang mitos Surga di Timur itu sungguh beraneka ragam,
tempat yang ditunjukannya pun berbeda-beda. Semua dilakukan dengan berbagai
metoda, dan semuanya pula mengaku yang paling ilmiah tentunya berdasarkan
bukti-bukti yang ajukan, dan tentunya pula pasti ada bantahan dan sanggahan
dari ilmuwan lainnya. Buku yang disebutkan diatas merupakan kajian dan
penelitian yang bisa dianggap paling mutahir, saat ini tentang Surga Atlantis.
Kedua buku ini mempunyai metoda yang berbeda dalam pembahasanya, tetapi
kedua buku ini pula menunjuk suatu posisi yang hampir serupa. Buku Atlantis
yang dikarang Prof Arsyio secara gamblang dan tegas menyatakan bahwa Surga
Atlantis itu adanya tepat di Indonesia, lebih spesifik yaitu di laut Jawa yang
kearah utaranya berbatasan dengan Laut China Selatan dan tentunya daratan China
Selatan sekarang, dengan mengatakan bahwa laut Jawa dulunya merupakan daratan
yang maha luas, termasuk katagori sangat langka dijumpai dimuka bumi ini
daratan seluas itu, sedangkan pulau-pulau yang mengelilinginya merupakan
dataran tinggi pada masa itu (Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Semenanjung
Malayu, dan yang lainnya, pulau besar Indonesia masa kini). Sedangkan buku Eden
in The East menujuk bahwa Surga Atlantis adanya di Asia bagian tenggara dan
tidak secara tegas menunjuk Indonesia.
Kedua pengarang buku tersebut mengajukan berbagai data,
mulai data geologis, geografis dan dan sosial budaya serta peninggalan
sejarah (artefak). Prof Arsyio lebih fokus di Filologi dan Linguistik dengan
memakai sumber-sumber mitos di berbagai belahan dunia dan dari berbagai agama,
sedangkan Oppenheimer lebih fokus dengan penelitian arkeologi, bukti artefak,
tentunya walaupun masing-masing mengandalkan metode-metoda yang menurut mereka
paling akurat tetap saja semua yang menjadikan fokus penelitian, tentu harus
komperehensif dengan semua sumber dan metode lain yang mendukungnya.
Dan satu hal lagi, kedua buku
sepakat bahwa kejadian itu terjadi ketika jaman terakhir es mencair yang ada
dipermukaan bumi, era pleistosin, yang disebabkan oleh sebuah ledakan maha
dasyat “a super colossal eruption” dari peristiwa vulkanik Gunung Krakatau,
sehingga terjadilah akhir jaman es mencair, dan permukaan air laut menjadi
pasang, melenyapkan dataran-dataran rendah. Pertistiwa lenyapnya daratan di
laut Jawa sekarang dipancing dengan adanya kubangan maha besar (kaldera
raksasa) diselat Sunda, efek kejadian vulkanik Gunung Krarakatu tersebut,
akhirnya air masuk dari samudera Hindia dan menenggelamkan Surga Atlantis, diperkirakan
oleh mereka yaitu kejadiannya sekitar 11.600 SM.
Bagi penulis, apapun mengenai berbagai bahasan kedua buku itu atau dari berbagai pihak, yang pasti berdasarkan data-data yang mereka sampaikan, bila ditarik kebelakang tentunya dan diasumsikan bahwa permukaan air di laut Jawa (laut antara pulau Jawa, Kalimantan dan Sumatera) menurun drastis hingga kisaran 150-200 meter (silakan baca tentang cara mengukur kedalaman laut), kasarannya dikuras habis sampai kedalaman tersebut, maka akan didapati dataran seluas kira-kira 400 x 600 km persegi bahkan lebih, dan ini memang daratan maha luas, hampir 3 kali luas pulau jawa sekarang.
Tentang kedalaman laut Jawa silakan baca di laporan Bakosurtanal, atau hasil pengamatan citra satelit laut Jawa yang menunjukan sebagian besar laut Jawa kedalamanya pada kisaran tersebut, yaitu 150-200 meter, walaupun memang ada juga palung-palung dalam yang merupakan hasil pertemuan lempeng-lempeng benua dengan kedalaman ribuan meter. Terdapat 4 (empat) sungai purba juga didaratan itu, dipermukaan dasar laut Jawa, yang diambil sebagai sebagai bukti refensi ilmiah tentang salah satu ciri Atlantis yang disampaikan Plato, dan itulah dalam berbagai mitos keagamaan sungai-sungai Surga dan Surganya Atlantis yang dimaksud, keempat sungai itu bersumber dari gunun Dempo Sumatera Selatan.
NAGARAKERTAGAMA, ATLANTIS DAN EDEN
III. Bahan Materi Yang Diajukan.
Materi yang diajukan dalam artikel ini yaitu pokok
bahasan tentang terjemahan dan tafsiran tesk naskah Nagarakertagama,
yang teks naskah tersebut sudah disebutkan diatas, berikut terjemahan dari dari
teks naskah Nagarakertagama pupuh 15 bait 2 tersebut:
1.
Tafsir dan
terjemahan Menurut Prof. Dr Slamet Mulyana
dari buku “Nagarakertagama dan Tafsir
Sejarahnya”, sebagai berikut:
“Tentang pulau Madura, tidak dipandang negara asing,
Karena sejak dahulu dengan Jawa menjadi satu, Konon tahun Saka lautan menantang
bumi, itu saat, Jawa dan Madura terpisah meskipun tidak sangat jauh.”
2. Tafsir dan terjemahan menurut
Theodor Pigeaud, dari buku “14Java in the 14th Century. A Study in Cultural
History”, 5 vols Pigeaud 1, pp. 11-13, Pigeaud 3, pp. 16-19 “,
sebagai berikut:
“Concerning now this island of Madura, this is not at
all of the same aspect as the foreign kingdoms, because of the fact that it has
been one with the Yawa-country, so it is said, at that time in the past:
"The oceans carry a country" (124 = 202 A.D.), such is their
Shaka-year, one hears, their moment to become provided with an interstice;
(nevertheless) they are one in essence, not far away (from each other).”
Penandaan tahun
yang terdapat dalam pupuh 15 bait 2 naskah Nagarakertagama hasil terjemahan
dari teks aslinya bahasa Kawi -Jawa Kuno yaitu “samudra nanguɳ bhumi” oleh Prof Slamet
Mulyana diterjemahkan menjadi “tahun Saka
lautan menantang bumi” dan oleh Theodor Pigeaud” The oceans carry a country" (124 = 202 A.D.), such is their
Shaka-year”,terdapat penandaan tahun yang jelas yaitu tahun saka 124 atau
sama dengan 202 Masehi.
Tentang
Prof. Dr. Raden Benedictus Slamet Muljana atau Prof Dr Slamet Mulyana (lahir di
Yogyakarta, 21 Maret 1929 – meninggal di Jakarta, 2 Juni 1986 pada umur 57
tahun), adalah seorang filolog dan sejarawan dari Indonesia, memperoleh gelar
B.A. dari Universitas Gadjah Mada tahun 1950, gelar M.A. dari Universitas
Indonesia tahun 1952, gelar Doktor Sejarah dan Filologi dari Universitas
Louvain, Belgia, tahun 1954, serta menjadi profesor pada Universitas Indonesia
sejak tahun 1958.
Tentang
Dr. Theodoor Gautier Thomas Pigeaud atau Theodor Pigeaud (Leipzig, 20 Februari
1899–Gouda, 6 Maret 1988) adalah seorang ahli Sastra Jawa dari Belanda. Ia
terutama menjadi termasyhur berkat kamus Jawa-Belandanya (1938) yang dijadikan
dasar oleh W.J.S. Poerwadarminta sebagai Baoesastra Djawa. Selain itu
Pigeaud juga dikenal karena studi monumentalnya mengenai Nagarakretagama
dan katalog-katalog naskah manuskrip di perpustakaan di Belanda, Denmark, dan
Jerman.
IV. Tentang Penandaan Waktu atau Sistem Kalender Saka
Kalender saka adalah tata perhitungan
waktu reguler berupa kalender yang berasal dari India, yang merupakan sebuah
penanggalan candra – surya atau disebut juga kalender luni – solar yang dimulai
perhitungannya ketika 78 tahun dari perhitungan tahun masehi. Dasar perhitungan
ini ditandai ketika kota Ujjayini (Malwa di India sekarang) direbut oleh kaum
Saka (Scythia) dibawah pimpinan Maharaja Kaniska dari tangan kaum Satavahana.
Tahun barunya terjadi pada saat Minasamkranti (matahari pada rasi bintang
pices) yang menandai awal musim semi, dan nama-nama bulan pada penanggalan atau
hitungan tahun saka yang lainya didasarkan pada perubahan musim, nerikut
nama-nama bulan dalam tahun saka: Caitra, Waisaka, Jyestha, Asadha, Srawana,
Bhadrawada, Aswina (Asuji), Kartika, Margasira, Posya, Magha, Phalguna. Agar
sesuai dengan peredaran matahari bulan Asadha dan Srawana diulang secara
bergiliran setiap tiga tahun dengan Dwitiya Asadha dan Dwitiya Srawana.
Silakan unutk keterangan lebih lanjut di Wikipedia Online tentang Kalender Saka.
Metoda pembacaan tahun saka disebut candra sengkala
atau hanya disebut sengkala saja, mempunyai arti kurang lebih adalah kata-kata
yang memiliki arti berupa angka, yang digunakan oleh orang Jawa kuno untuk
memberikan nama pada sebuah bangunan, upacara, kejadian atau masa atau
tahun dan lain sebagainya, dalam hitungan angka tahun saka.
Cara pembacaan selalu terbalik, artinya dibaca
terbalik dari urutan penulisan misalnya : “Dewo Ngasto Manggalaning Ratu”
yang ditafsirkan atau diterjemahkan menjadi “Dewa minitis kebumi menjadi
raja”, Dewo = 9, Ngasto = 2, Manggalaning = 8, Ratu = 1, susunan penulisan
9281, tapi dibaca menjadi angka tahun saka 1829.
Sifat dari pembacaan tahun saka ini lebih kearah
penafsiran, terdapat beberapa pengelompokan kata yang ditafsirkan dan
diterjemahkan menjadi simbol dari angka-angka saka, sebagai berikut misalnya:
- Angka 1 (satu) didapat bagi kata-kata yang mengandung simbol, yaitu : Ratu, Raja, Tuhan, bumi, orang, lelaki, perempuan, anak, benih, daun, eka , tunggal, sendiri, satu, matahari, rembulan dst (dan seterusnya). Atau kata-kata yang mempunyai sifat yang sama seperti bintang dianggap punya sifat yang sama dengan matahari.
- Angka 2 (dua) didapat bagi kata-kata yang mengandung simbol, yaitu : mata, telinga, tangan, kaki, sejodoh, penganten, teman, seiring, dwi, dua, pandangan, dst. Atau kata-kata yang mempunyai sifat atau hampir mirip dengan contoh diatas misal sejodoh, dua atau dwi sama dengan sepasang.
- Angka 3 (tiga) didapat bagi kata-kata yang mengandung simbol, yaitu : Api, Pandai, panas, asap, terbakar,berkobar, cerdas, guna, laksana, bagai, dst. Atau kata-kata yang mempunyai sifat yang sama atau hampir mirip dengan contoh diatas misal cerdas sama dengan pintar.
- Angka 4 (empat) didapat bagi kata-kata yang mengandung simbol, yaitu : air, samudra, laut, sungai, catur, dadi, kiblat, rawa, mata angin, dst. Atau kata-kata yang mempunyai sifat yang sama atau hampir mirip dari contoh diatas misal danau, ngarai..
- Angka 5 (lima) didapat bagi kata-kata yang mengandung simbol, yaitu: Raksasa, buta, angin, senjata tajam, galak, buas, dst. Atau kata-kata yang mempunyai sifat yang sama atau hampir mirip dari contoh diatas misal buas sama dengan jahat.
- Angka 6 (enam) didapat bagi kata-kata yang mengandung simbol, yaitu: rasa, cinta, suka, marah, senang, sedih, manis, asmara, kayu, gelondongan, pohon, wayang, dst. Atau kata-kata yang mempunyai sifat yang sama atau hampir mirip dari contoh diatas misal marah sma dengan murka.
- Angka 7 (tujuh) didapat bagi kata-kata yang mengandung simbol, yaitu: pendeta, guru, ustadz, ulama, sayuti, biksu, ukang ceramah, kendaraan, dst. Atau kata-kata yang mempunyai sifat yang sama atau hampir mirip dari contoh diatas misal kuda, pesawat, mobil.
- Angka 8 (delapan) didapat bagi kata-kata yang mengandung simbol, yaitu: naga, ular, kadal, buaya, gajah, mandala, komodo, cicak, dst. Atau kata-kata yang mempunyai sifat yang sama atau hampir mirip dari contoh diatas misal binatang merayap atau bergerak pelan.
- Angka 9 (sembilan) didapat bagi kata-kata yang mengandung simbol, yaitu: lubang, bau-bauan, harum, wangi, dewa, singa, sumur, bolong dst. Atau kata-kata yang mempunyai sifat yang sama atau hampir mirip dari contoh diatas misal bau amis.
- Angka 0 (nol) didapat bagi kata-kata yang mengandung simbol, yaitu: Tanpa, nir, bolong, awang-awang, langit, angkasa, anariksa, luhur, tinggi dst. Atau kata-kata yang mempunyai sifat yang sama atau hampir mirip dari contoh diatas misal udara.
Penulis
membahasakan seperti bahasa masa kini, karena memang hitungan saka masih
dipakai sampai sekarang, seperti halnya di Bali, bahkan hari Nyepi adalah
peringatan tahun baru Saka.
Dalam naskah Pararaton ada namanya Raja Bhre
Kertabhumi atau Brawijaya V, suka diinisiasi menjadi penandaan waktu keruntuhan
kerajaan Majapahit dengan penafsiran Candra Sengkala, yaitu menjadi “Sirna
Hilang Kertaing Bhumi” yang penulisan tahun sakanya menjadi 0041, dengan
pembacaan terbalik menjadi 1400 tahun saka, setara dengan 1478 Masehi. Nama
Raja Bhre Kertabhumi berasal dari Naskah Pararaton, dan kalau penafsirannya
demikian terhadap nama Raja Bhre Kertabhumi, tentunya keruntuhan kerajaan
Majapahit sudah direncanakan oleh si pengarang Pararaton, atau sebaliknya,
penandaan waktu kejatuhan kerajaan Majapahit oleh si pengarang Pararaton
menjadi simbolisasi dari nama raja kertabhumi sebagai alias dari Raja Brawijaya
V. Sungguh tidak masuk logika kerajaan besar yang banyak terdapat para
sastrawan atau punjangganya membiarkan raja pendahulunya memberikan nama, atau
sebutan atau gelaran Kertabhumi yang mempunyai tafsiran seperti diatas “Sirna Hilang
Kertaing Bhumi”.
Contoh lainnya perhitungan tahun saka, diambil dari
naskah nagarakertagama, seperti :
1.
Pintu gunung
mendengar indu, tahun saka 1279, pupuh 17 bait 6,
2.
Seekor naga
menelan bulan, tahun saka 1281, pupuh 17 bait 7,
3.
Lautan dasa
bulan, tahun saka 1104, pupuh 40 bait 1,
4.
Lautan dadu
Siwa, tahun saka 1144, pupuh 40 bait 3.
IV. Analisa Bahan Materi yang Diajukan
Penandaan waktu tahun saka dalam pupuh 15 bait ke-2
dalam naskah Nagarakertagama dengan memakai metode hitungan candra sengkala
didapat sebagai berikut:
1.
Samudra
mempunyai indek atau angka 4, sama artinya dengan laut, atau lautan,
2.
nanguɳ mempunyai indek atau angka 2, sama
artinya dengan menantang,
3.
bhumi
mempunyai indek atau angka 1, sama artinya dengan bumi, daratan.
Maka hitungan candra sengkalanya menjadi 421, yang
kemudian prosedur selanjutnya dilakukan pembacaan terbalik, maka hasilnya
menjadi 124 tahun saka atau setara dengan 202 Masehi, dan ini sesuai dengan
catatan waktu yang disampaikan Theodor Pigeaud dan dan tafsir dari Prof DR
Slamet Mulyana “lautan menatang bumi”.
Dalam Tafsir bait secara keseluruhan, pengarang naskah
Nagaraketagama menyampaikan berita bahwa Pulau Madura dan Pulau Jawa dulunya
terasa dekat, atau mengarah kebersatu, satu pulau bersama, atau satu daratan
atau juga masih terpisah oleh lautan tapi dengan permukaan air laut yang tidak
begitu dalam, sehingga jarak antara ke 2 pulau tersebut seolah-olah sangat
dekat.
A. Analisa
Masa Lampau Abad 1-5 M Nusantara
Catatan sejarah nusantara, baru dimulai ketika didapat
bukti-bukti sejarah yaitu dengan ditemukannya prasasti di Kutai, Kalimantan
Timur. prasasti yang merupakan peninggalan dari Kerajaan Kutai. Terdapat tujuh
buah yupa yang memuat prasasti, namun baru 4 yang berhasil dibaca dan
diterjemahkan. Prasasti ini menggunakan huruf Pallawa Pra-Nagari dan dalam
bahasa Sanskerta, yang diperkirakan dari bentuk dan jenisnya berasal dari
sekitar 400 Masehi. Prasasti ini ditulis dalam bentuk puisi anustub, silakan
lebih lengkap baca di wikipedia online mengenai catatan sejarah dalam bentuk prasasti
tertua di nusantara.
Di
Bogor, prasasti ditemukan di Pasir Muara, di tepi sawah, tidak jauh dari
prasasti Telapak Gajah peninggalan Purnawarman. Prasasti itu kini tak berada
ditempat asalnya, dalam prasasti itu dituliskan sebagai berikut:
"ini
sabdakalanda rakryan juru pangambat i kawihaji panyca pasagi marsan desa
barpulihkan haji sunda".
Terjemahannya
menurut Bosch, sebagai berikut:
"Ini
tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat dalam tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5)
pasagi (4), pemerintahan begara dikembalikan kepada raja Sunda". Karena
angka tahunnya bercorak "sangkala" yang mengikuti ketentuan
"angka nam vamato gatih" (angka dibaca dari kanan), maka prasasti
tersebut dibuat dalam tahun 458 Saka atau 536 Masehi.
Beberapa
ratus meter dari tempat prasasti itu, ditemukan pula dua prasasti lainnya
peninggalan Maharaja Purnawarman yang berhuruf Palawa dan berbahasa
Sangsekerta. Dalam literatur, kedua prasasti itu disebut Prasasti Ciaruteun dan
Prasasti Kebon Kopi (daerah bekas perkebunan kopi milik Jonathan Rig). Prasasti
Ciaruteun semula terletak pada aliran (sungai) Ciaruteun (100 meter) dari
pertemuan sungai tersebut dengan Cisadane. Tahun 1981 prasasti itu diangkat dan
diletakkan dalam cungkup. Prasasti Ciaruteun ditulis dalam bentuk puisi 4 baris,
berbunyi:
"vikkrantasyavanipateh
shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam".
Terjemahannya
menurut Vogel: "Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki)
Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman
penguasa Tarumanagara". Prasasti Ciaruteun bergambar sepasang
"pandatala" (jejak kaki). Gambar jejak telapak kaki menunjukkan tanda
kekuasaan yang berfungsi mirip "tanda tangan" seperti jaman sekarang.
Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa daerah itu
termasuk kawasan kekuasaannya.
Lahan
tempat prasasti itu ditemukan berbentuk bukit rendah berpermukaan datar dan
diapit tiga batang sungai: Cisadane, Cianten dan Ciaruteun. Sampai abad ke-19,
tempat itu masih dilaporkan dengan nama Pasir Muara. Dahul termasuk bagian
tanah swasta Ciampea, sekarang termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang.
Prasasti
Telapak Gajah bergambar sepasang telapak kaki gajah yang diberi keterangan satu
baris berbentuk puisi berbunyi:
"jayavi
s halasya tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam".
(Kedua
jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata
kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa).
Menurut
mitologi Hindu, Airawata adalah nama gajah tunggangan Batara Indra dewa perang
dan penguawa Guntur. Terdapat ukiran bendera dan sepasang lebah, yang
ditatahkan secara jelas pada prasasti Ciaruteun yang telah memancing perdebatan
mengasyikkan diantara para ahli sejarah mengenai makna dan nilai
perlambangannya. Ukiran kepala gajah bermahkota teratai ini oleh para ahli
diduga sebagai "huruf ikal" yang masih belum terpecahkan bacaanya
sampai sekarang. Demikian pula tentang ukiran sepasang tanda di depan telapak
kaki ada yang menduganya sebagai lambang labah-labah, matahari kembar atau
kombinasi surya-candra (matahari dan bulan).
Di
daerah Bogor, masih ada satu lagi prasasti lainnya yaitu prasasti batu
peninggalan Tarumanagara yang terletak di puncak bukit Koleangkak, Desa Pasir
Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Pada bukit ini mengalir (sungai) Cikasungka.
Prasasti inipun berukiran sepasang telapak kaki dan diberi keterangan berbentuk
puisi dua baris, penulis belum punya data tentang kapan prasasti itu dibuat,
bunyinya sebagai berikut:
"shriman data kertajnyo narapatir - asamo yah
pura tarumayam nama shri purnnavarmma pracurarupucara fedyavikyatavammo
tasyedam-padavimbadavyam arnagarotsadane nitya-dksham bhaktanam yangdripanam -
bhavati sukhahakaram shalyabhutam ripunam".
Terjemahannya
menurut Vogel sebagai berikut:
"Yang
termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri
Purnawarman yang memerintah Taruma serta baju perisainya tidak dapat ditembus
oleh panah musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang
selalu berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan
kehormatan (kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi
musuh-musuhnya".
Terlihat
jelas bahwa catan sejarah, dimulai mulai abad ke 6 Masehi, dengan pembuatan
prasasti menunjukan tahun 536M, artinya kerjaan Tarumanegara dipredikisi
kisaran sebelum abad ke 6 tersebut, sebelum itu tidak ada catatan sejarah
sedikitpun mengenai peradaban di tatar Sunda, semisal abad ke 1-5 Masehi. Katakanlah
naskah Wangsakerta “pustaka Parawatwan i
Bhumi Jawadwipa parwa I, sarga 1” yang mencatat sebelum masa Raja
Purnawarman masih terdapat raja-raja sebelumnya yang diawali oleh
Jayasingawarman kisaran tahun 358-382 M, dan Dharmayawarman kisaran tahun
382-395 M, artinya lebih lanjut abad ke 1-3 M atau abad sebelum masehi sendiri
catatan sejarah kerajaan atau peadaban sunda, bahkan nusantara pada umumnya
tidak ada sama sekali. Walau pun naskah Wangsakerta masih menyimpan catatan
mengenai masa pada abad 1-3 ini dengan memunculkan kisah Aki Tirem dan kerajaan
Salakanagara, tapi dukungan terhadap informasi naskah itu lemah, tidak ada
dukungan bukti catatan primer semacam prasasti atau bukti lainnya, dengan
demikian untuk sementara masih memakai asumi tidak ada bukti catatan sejarah
sebelum abad ke-5 diwilayah tatar sunda khususnya.
Pertanyaanya,
apakah benar tidak ada peraban sama sekali, atau tidak kah ada kelompok bangsa
yang yang membentuk sebuah kerajaan atau negara sama sekali pada waktu itu atau
katakanlah setingkat kerajaan kecil, yang mempunyai struktur kepemerintahan
atau dipimpin oleh sekelompok orang yang berkuasa. Apakah Abad itu, abad sangat
primitif sehingga tidak ada catatan sejarah sedikit pun.
Hal
yang patut diingat bahwa Cina sudah mempunyai catatan sejarah 3000 tahun
sebelum Masehi, artinya dokumentasi sejarah sudah ada yang merupakan
dokumentasi sejarah paling awal dimuka bumi ini. Apakah dengan keberadaan Cina
yang sudah membentuk suatu bangsa yang beradab, dengan pendokumentasian sejarah
yang sudah terjadi, sama sekali tidak ada hubugan dengan peradaban di Jawa,
atau nusantara pada umumnya kisaran pada awal abad masehi? Sungguh pertanyaan
yang tidak ada jawaban, soalnya tidak ada catatan sejarah sama sekali, tidak
bisa dibuktikan apapun.
Tapi,
setidaknya manusia diberi kelengkapan kecerdasan akal dan pikiran, hal yang
sangat mengherankan kalau buku Atlantis dan Eden, terang-terangan menyatakan
bahwa di wilayah nusantara sudah terdapat peradaban yang maha tinggi kisaran
11.600 SM, yang disinyalir terdapat kekaisaran agung yang mendunia, lagi
melegenda. Asumsikan saja apa yang disampaikan kedua buku itu adalah menuju
benar, menunjuk kearah yang ingin dibuktikan tentang keberadaan Atlantis, Surga
di timur, tapi pertanyaannya mengapa jejak sejarah itu hanya tercatat ribuan
tahun yang silam, bahkan mencapai puluhan ribu tahun yang silam, tetapi mengapa
pada kisaran abad awal Masehi tidak ada catatan sejarah, bahkan segaris coretan
apapun tidak diketemukan sebagai bukti otentik sejarah pada masa itu? Sekali
lagi pertanyaan yang sukar dijawab tentunya, dan sepengetahuan penulis belum
pernah ada yang bisa menjawabnya.
Mudah-mudahan
apa yang akan disampaikan penulis kedepan dalam lanjutan bahasan artikel ini
menjadi bahan pertimbangan bersama, tentang masa sejarah kelam, dalam arti
sesungguhnya, sungguh kelam tidak ada pencerahan sejarah sedikit pun tentang
awal-abad masehi di Nusantara, tentunya pencerahan itu harus berasal dari
adanya bukti sejarah yang bersifat primer, bukan dari dongeng, mitos atau pun
kisah rakyat lainnya. Dalam hal ini penulis mencoba unuk merangkainya, walaupun
memang hanya dengan metoda utak atik
gathuk.
Penulis
sering membaca artikel yang membahas tentang asal-usul kerajaan Sunda, era
sebelum Kerajaan Tarumanegara, termasuk tentang Aki Tirem dan Kerajaan
Salakanagara, dan dasar informasi itu dari naskah Wangsakerta, yang menjadi
heran penulis, kok nama Tirem tumpang tindih dengan berita naskah
negarakertagama dipupuh 14 bait 1 (satu), “tirm”
yang diterjemahkan oleh hampir semua ahli yaitu Tirem, dan Tirem atau Tirun
atau Kerajaan Tidung, adanya di Kalimantan Timur pada abad ke 14 M, setara
dengan kerajaan Majapahit masa kepemerintahan raja Hayam Wuruk.
Angka
124 tahun saka atau 202 M adalah tahun yang mempunyai prediksi tentang adanya
peristiwa perubahan geografis dan geologi, dan ada beberapa sumber yang
mengarahkan penulis untuk mencari informasi mengenai data geologi pada kisaran
abad ke 1-5 M, waktu antara yang memberikan peluang yang lebar dari eror
penandaan waktu untuk 202 M tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar